Apa Saja Hal Makruh Dalam Shalat?

Hal Makruh Dalam Shalat

Hal yang makruh dalam sholat. Makruh atau karahah dalam istilah para ulama fiqih adalah larangan terhadap sesuatu tanpa keharusan untuk meninggalkan. Hukum makruh adalah bahwa siapa yang meninggalkannya karena ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, makai a mendapat pahala. Sedangkan pelakunya tidak dihukum, dan boleh melakukan yang makruh ketika ada keperluan (hajjah), tanpa ada keadaan darurat.

Perbuatan yang makruh dikerjakan saat shalat yaitu ketika sedang shalat berlangsung. Adapun pembagiannya sebagai berikut:

1.     MEMBATASI DIRI HANYA MEMBACA AL-FATIHAH

Membatasi diri hanya membaca al-Fatihah saja pada dua rakaat pertama, karena hal ini menyelisihi sunnah dan petunjuk Nabi dalam shalat.

2.     MENGULANG-NGULANG AL-FATIHAH

Mengulang-ngulang surat al-Fatihah, karena hal ini juga menyelisihi sunnah dan petunjuk Nabi , akan tetapi bila seseorang mengulangnya karena suatu hajat, misalnya khusyu’nya hilang dan penghayatannya sirna saat membacanya, lalu dia hendak mengulangnya agar hatinya bisa menghayati, maka hal itu tidak mengapa, tetapi dengan syarat hendaklah hal itu tidak menyeretnya kepada sikap was-was.

3.     MENENGOK SEDIKIT DALAM SHALAT TANPA ALASAN

Menengok sedikit dalam shalat tanpa ada alasan, berdasarkan sabda Nabi saat ditanya tentang masalah menengok dalam shalat,

هُوَ اخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلَاةِ الْعَبْدِ

Ia adalah suatu pencurian tersembunyi yang dilakukan oleh setan dari shalat hamba.[1]. Kata (اخْتِلَاسٌ) itu bermakna mencuri dan mencopet dengan cepat.

Adapun bila menoleh karena ada suatu hajat, maka tidak mengapa, seperti orang yang ada hajat untuk meludah di sebelah kirinya dalam shalat sebanyak tiga kali saat merasakan was-was, maka menoleh di sini karena ada suatu kebutuhan, dan Nabi sendiri memerintahkannya, dan seperti seorang ibu yang takut anak-anaknya hilang, sehingga dia terpaksa menoleh dalam shalatnya untuk mengawasinya.

Semua ini adalah menoleh yang sedikit, lain halnya bila menolehnya dengan balik badan seluruhnya atau sampai membelangkangi kiblat, maka hal ini membatalkan shalatnya, dan bila dilakukan bukan karena udzur, seperti ketakutan yang sangat dan yang sepertinya.

4.     MEMEJAMKAN KEDUA MATA DALAM SHALAT

Memejamkan kedua mata dalam shalat, hal ini karena mirip dengan perbuatan orang-orang majusi saat menyembah api. Ada yang berkata, Sama dengan perbuatan orang-orang yahudi juga, sementara kita dilarang menyerupai orang-orang kafir.

5.     MELETAKKAN KEDUA LENGAN DI LANTAI SAAT SUJUD

Meletakkan (menempel) kedua lengan di lantai saat sujud, berdasarkan sabda Nabi ,

اعْتَدِلُوا فِي الصَّلَاةِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ كَانْبِسَاطِ الْكَلْبِ

Bersikaplah pertengahan dalam sujud, dan janganlah salah seorang diantara kalian menghamparkan kedua lengannya (di tanah) seperti perilaku anjing yang menghamparkan (kedua lengannya di tanah).[2]. Orang yang shalat hendaklah menjauhkan antara kedua lengannya, mengangkatnya dari lantai (tidak menempel), dan tidak menyerupai hewan.

6.     BANYAK MELAKUKAN PERBUATAN YANG SIA-SIA DALAM SHALAT

Banyak melakukan perbuatan sia-sia dalam shalat, hal itu karena ia menyibukkan hati yang menghilangkan khusyu’ yang dituntut dalam shalat.

7.     BERTOLAK PINGGANG

Bertolak pinggang, berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّيَ مُخْتَصِرًا

Nabi  melarang seorang laki-laki shalat dalam keadaan takhashur (bertolak pinggang).”(3)[3]Takhashshur dan Ikhtishar dalam shalat adalah meletakkan tangan di pinggang, yaitu bagian tengah seseorang yang menyempit , di atas pantat. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata menjelaskan alasan larangan tersebut,

Sesungguhnya orang-orang yahudi melakukannya.”(4)[4].

8.     SADL DAN MENUTUP MULUT DALAM SHALAT

Sadl dan menutup mulut dalam shalat, berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

نَهَى عَنْ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ وَأَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ

Rasulullah  melarang sadl dalam shalat dan seseorang menutup mulutnya.[5]Sadl adalah seseorang menyelimutkan kain kedua pundak-pundaknya dan tidak mengembalikan kedua ujungnya kedua pundaknya (yakni, terurai ke bawah). Ada yang berkata, menjulurkan kain sampai menyentuh tanah, sehingga ia bermakna isbal.

9.     MENDAHULUI IMAM

Mendahului imam, hal ini berdasarkan sabda Nabi ,

أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ الله رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ أَوْ أَنْ يَجْعَلَ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ

Apakah salah seorang diantara kalian tidak takut manakala mengangkat kepalanya sebelum imam, kalau Allah menjadikan kepalanya seperti kepala keledai atau mengubah bentuknya seperti bentuk keledai?[6].

10. MENJALIN JARI JEMARI

Menjalin jari-jemari, karena Nabi melarang orang yang berwudhu dan pergi ke masjid untuk shalat dari perbuatan ini,[7] maka makruhnya menjalin jari-jemari ini di dalam shalat lebih utama (untuk dilarang). Adapun menjalin jari-jemari di luar shalat, maka hal itu tidak makruh, sekalipun di dalam masjid, karena Nabi pernah melakukannya dalam kisah Dzul Yadain.

11. MENAHAN DAN MEMEGANGI RAMBUT DAN KAIN

Menahan dan memegangi rambut dan kain, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أُمِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ وَلَا يَكُفَّ ثَوْبَهُ وَلَا شَعَرَهُ

Nabi  diperintahkan agar sujud di atas tujuh anggota badan, dan tidak memegangi pakaian dan tidak pula rambutnya.”(8)[8]. Kata (al-kaafu) bisa bermakna memegang dan mengumpulkan. Maksudnya, tidak memegang keduanya. Bisa juga bermakna menahan dan mencegah. Maksudnya, tidak menahan dan menghalangi keduanya untuk lepas terurai saat sujud. Semua tindakan ini termasuk perbuatan sia-sia yang dapat menghilangkan khusyu’ dalam shalat.

12. SHALAT SAAT HIDANGAN MAKAN SUDAH SIAP

Shalat disaat hidangan makanan sudah siap atau dalam keadaan menahan dua buang hajat (buang air kecil dan besar), berdasarkan sabda Nabi ,

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

Tidak ada shalat saat makanan sudah siap dihidangkan, dan tidak ada (shalat) saat dua hajat sedang mendesaknya untuk keluar.[9].

Adapun makruhnya shalat saat makanan telah terhidang, maka hal tersebut dengan syarat dirinya sangat berminat dan berhasrat untuk makan, serta mampu memakannya, dan makanan tersebut sudah terhidang di hadapannya.

Seandainya makanan telah tersedia, namun dia sedang berpuasa atau sangat kenyang sehingga tidak berhasrat kepadanya atau belum bisa dimakan karena masih panas, maka dalam keadaan seperti ini tidak makruh shalat saat makanan tersebut telah terhidangkan.

Adapun dua hajat, maka keduanya adalah buang air kecil dan air besar. Sungguh Nabi telah melarang hal ini seluruhnya, karena ia menyibukkan hati orang yang shalat, mengacaukan pikirannya, menghilangkan khusyu’  dalam shalat, dan bisa berbahaya karena tertahannya air seni atau tinja.

13. MENGANGKAT PANDANGAN KE LANGIT

Mengangkat pandangan ke langit, berdasarkan sabda Nabi ,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلَاةِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ

Hendaknya orang-orang benar-benar berhenti untuk mengangkat pandangan mereka ke langit (yakni ke atas) dalam shalat atau penglihatan mereka akan disambar.”(10)[10].

Dan inilah 13 perkara atau hal yang makruh dalam shalat seseorang, yang bagi kita harus untuk menghindarinya.[11]



[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no, 751.

[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 882.

[3] Diriwayatkan oelh al-Bukahri, no. 1220.

[4] Masruq meriwayatkan oleh hadits tersebut darinya (Aisyah) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, no. 3458.

[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 643 dan at-Tirmidzi, no. 379; dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 312.

[6] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 691 dan Muslim, no. 427.

[7] Diriwayatkan oleh al-Hakim, 1/206 dan beliau menshahihkannya, dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Dan keduanya disetujui oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/102.

[8] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 815 dan Muslim, no. 490.

[9] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 560.

[10] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 429.

[11] [Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’ Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli 2019 M]. Dengan sedikit penambahan. Wallahu A’lam 



Posting Komentar untuk "Apa Saja Hal Makruh Dalam Shalat?"