Hal yang makruh dalam
sholat. Makruh atau karahah dalam istilah para ulama fiqih
adalah larangan terhadap sesuatu tanpa keharusan untuk meninggalkan. Hukum
makruh adalah bahwa siapa yang meninggalkannya karena ketaatan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala, makai a mendapat pahala. Sedangkan
pelakunya tidak dihukum, dan boleh melakukan yang makruh ketika ada keperluan (hajjah),
tanpa ada keadaan darurat.
Perbuatan yang makruh
dikerjakan saat shalat yaitu ketika sedang shalat berlangsung. Adapun
pembagiannya sebagai berikut:
1. MEMBATASI DIRI HANYA
MEMBACA AL-FATIHAH
Membatasi diri hanya
membaca al-Fatihah saja pada dua rakaat pertama, karena hal ini menyelisihi
sunnah dan petunjuk Nabi ﷺ dalam shalat.
2. MENGULANG-NGULANG
AL-FATIHAH
Mengulang-ngulang
surat al-Fatihah, karena hal ini juga menyelisihi sunnah dan petunjuk Nabi ﷺ, akan tetapi
bila seseorang mengulangnya karena suatu hajat, misalnya khusyu’nya hilang dan
penghayatannya sirna saat membacanya, lalu dia hendak mengulangnya agar hatinya
bisa menghayati, maka hal itu tidak mengapa, tetapi dengan syarat hendaklah hal
itu tidak menyeretnya kepada sikap was-was.
3. MENENGOK SEDIKIT DALAM
SHALAT TANPA ALASAN
Menengok sedikit dalam
shalat tanpa ada alasan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ saat ditanya
tentang masalah menengok dalam shalat,
هُوَ اخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلَاةِ
الْعَبْدِ
“Ia adalah suatu
pencurian tersembunyi yang dilakukan oleh setan dari shalat hamba.”[1].
Kata (اخْتِلَاسٌ) itu bermakna mencuri dan mencopet dengan
cepat.
Adapun bila menoleh
karena ada suatu hajat, maka tidak mengapa, seperti orang yang ada hajat untuk
meludah di sebelah kirinya dalam shalat sebanyak tiga kali saat merasakan
was-was, maka menoleh di sini karena ada suatu kebutuhan, dan Nabi ﷺ sendiri
memerintahkannya, dan seperti seorang ibu yang takut anak-anaknya hilang,
sehingga dia terpaksa menoleh dalam shalatnya untuk mengawasinya.
Semua ini adalah
menoleh yang sedikit, lain halnya bila menolehnya dengan balik badan seluruhnya
atau sampai membelangkangi kiblat, maka hal ini membatalkan shalatnya, dan bila
dilakukan bukan karena udzur, seperti ketakutan yang sangat dan yang
sepertinya.
4. MEMEJAMKAN KEDUA MATA
DALAM SHALAT
Memejamkan kedua mata
dalam shalat, hal ini karena mirip dengan perbuatan orang-orang majusi saat
menyembah api. Ada yang berkata, Sama dengan perbuatan orang-orang yahudi juga,
sementara kita dilarang menyerupai orang-orang kafir.
5. MELETAKKAN KEDUA LENGAN
DI LANTAI SAAT SUJUD
Meletakkan (menempel)
kedua lengan di lantai saat sujud, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
اعْتَدِلُوا فِي الصَّلَاةِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ
ذِرَاعَيْهِ كَانْبِسَاطِ الْكَلْبِ
“Bersikaplah
pertengahan dalam sujud, dan janganlah salah seorang diantara kalian
menghamparkan kedua lengannya (di tanah) seperti perilaku anjing yang
menghamparkan (kedua lengannya di tanah).”[2].
Orang yang shalat hendaklah menjauhkan antara kedua lengannya, mengangkatnya
dari lantai (tidak menempel), dan tidak menyerupai hewan.
6. BANYAK MELAKUKAN
PERBUATAN YANG SIA-SIA DALAM SHALAT
Banyak melakukan
perbuatan sia-sia dalam shalat, hal itu karena ia menyibukkan hati yang
menghilangkan khusyu’ yang dituntut dalam shalat.
7. BERTOLAK PINGGANG
Bertolak pinggang,
berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
يُصَلِّيَ مُخْتَصِرًا
“Nabi ﷺ melarang seorang laki-laki shalat dalam keadaan takhashur
(bertolak pinggang).”(3)[3]. Takhashshur dan Ikhtishar dalam
shalat adalah meletakkan tangan di pinggang, yaitu bagian tengah seseorang yang
menyempit , di atas pantat. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata
menjelaskan alasan larangan tersebut,
“Sesungguhnya
orang-orang yahudi melakukannya.”(4)[4].
8. SADL DAN MENUTUP MULUT DALAM SHALAT
Sadl dan menutup mulut dalam shalat, berdasarkan hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
نَهَى عَنْ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ وَأَنْ يُغَطِّيَ
الرَّجُلُ فَاهُ
“Rasulullah ﷺ melarang sadl dalam shalat dan seseorang menutup
mulutnya.”[5]. Sadl adalah
seseorang menyelimutkan kain kedua pundak-pundaknya dan tidak mengembalikan
kedua ujungnya kedua pundaknya (yakni, terurai ke bawah). Ada yang berkata,
menjulurkan kain sampai menyentuh tanah, sehingga ia bermakna isbal.
9. MENDAHULUI IMAM
Mendahului imam, hal
ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ
الْإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ الله رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ أَوْ أَنْ يَجْعَلَ
صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ
“Apakah salah
seorang diantara kalian tidak takut manakala mengangkat kepalanya sebelum imam,
kalau Allah menjadikan kepalanya seperti kepala keledai atau mengubah bentuknya
seperti bentuk keledai?”[6].
10. MENJALIN JARI JEMARI
Menjalin jari-jemari,
karena Nabi ﷺ melarang orang yang berwudhu dan pergi ke
masjid untuk shalat dari perbuatan ini,[7]
maka makruhnya menjalin jari-jemari ini di dalam shalat lebih utama (untuk
dilarang). Adapun menjalin jari-jemari di luar shalat, maka hal itu tidak
makruh, sekalipun di dalam masjid, karena Nabi ﷺ pernah
melakukannya dalam kisah Dzul Yadain.
11. MENAHAN DAN MEMEGANGI
RAMBUT DAN KAIN
Menahan dan memegangi
rambut dan kain, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أُمِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ وَلَا يَكُفَّ ثَوْبَهُ وَلَا شَعَرَهُ
“Nabi ﷺ diperintahkan agar sujud di atas tujuh anggota badan, dan
tidak memegangi pakaian dan tidak pula rambutnya.”(8)[8].
Kata (al-kaafu) bisa bermakna memegang dan mengumpulkan. Maksudnya,
tidak memegang keduanya. Bisa juga bermakna menahan dan mencegah. Maksudnya,
tidak menahan dan menghalangi keduanya untuk lepas terurai saat sujud. Semua
tindakan ini termasuk perbuatan sia-sia yang dapat menghilangkan khusyu’ dalam
shalat.
12. SHALAT SAAT HIDANGAN
MAKAN SUDAH SIAP
Shalat disaat hidangan
makanan sudah siap atau dalam keadaan menahan dua buang hajat (buang air kecil
dan besar), berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ
الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat
saat makanan sudah siap dihidangkan, dan tidak ada (shalat) saat dua hajat
sedang mendesaknya untuk keluar.”[9].
Adapun makruhnya
shalat saat makanan telah terhidang, maka hal tersebut dengan syarat dirinya
sangat berminat dan berhasrat untuk makan, serta mampu memakannya, dan makanan
tersebut sudah terhidang di hadapannya.
Seandainya makanan
telah tersedia, namun dia sedang berpuasa atau sangat kenyang sehingga tidak
berhasrat kepadanya atau belum bisa dimakan karena masih panas, maka dalam
keadaan seperti ini tidak makruh shalat saat makanan tersebut telah
terhidangkan.
Adapun dua hajat, maka
keduanya adalah buang air kecil dan air besar. Sungguh Nabi ﷺ telah melarang
hal ini seluruhnya, karena ia menyibukkan hati orang yang shalat, mengacaukan
pikirannya, menghilangkan khusyu’ dalam shalat, dan bisa berbahaya karena
tertahannya air seni atau tinja.
13. MENGANGKAT PANDANGAN
KE LANGIT
Mengangkat pandangan
ke langit, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى
السَّمَاءِ فِي الصَّلَاةِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
“Hendaknya
orang-orang benar-benar berhenti untuk mengangkat pandangan mereka ke langit
(yakni ke atas) dalam shalat atau penglihatan mereka akan disambar.”(10)[10].
Dan inilah 13 perkara
atau hal yang makruh dalam shalat seseorang, yang bagi kita harus untuk
menghindarinya.[11]
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no, 751.
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 882.
[3] Diriwayatkan oelh al-Bukahri, no. 1220.
[4] Masruq meriwayatkan oleh hadits tersebut
darinya (Aisyah) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, no.
3458.
[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 643 dan
at-Tirmidzi, no. 379; dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan
at-Tirmidzi, no. 312.
[6] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 691 dan Muslim, no. 427.
[7] Diriwayatkan oleh al-Hakim, 1/206 dan
beliau menshahihkannya, dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Dan keduanya disetujui
oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/102.
[8] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 815 dan Muslim, no. 490.
[9] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 560.
[10] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 429.
[11] [Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’ Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli 2019 M]. Dengan sedikit penambahan. Wallahu A’lam
Posting Komentar untuk "Apa Saja Hal Makruh Dalam Shalat?"