Sholat Jumat: Tata Cara dan Khutbah Jumat

Sholat Jumat Khutbah Jumat

Sholat Jumat merupakan amalan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Dan ini merupakan syiar bagi kaum muslimin di hari raya jumat. Oleh karna itu, hendaklah bagi seorang muslim untuk memperhatikannya dan semangat beribadah didalamnya, karna diakhir waktu hari jumat terdapat waktu dikabulkannya doa bagi orang muslim, sebagaimana penjelasan yang akan datang,

HUKUM DAN DALIL SHOLAT JUMAT

Sholat Jumat hukumnya adalah fardhu ‘ain atas kaum laki-laki, berdasarkan Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَآأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila telah diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9).

Dan berdasarkan sabda Nabi ,

رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Berangkat shalat Jumat adalah wajib atas setiap orang dewasa.”[1]. Dan sabda Nabi ,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ

“Hendaknya orang-orang itu menghentikan tindakan mereka meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan mengunci hati mereka, kemdian mereka pasti menjadi orang-orang yang lalai.”[2].

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini mengandung ketetapan bahwa sholat Jumat adalah fardhu ain.”[3]. Dan berdasarkan hadits berikut yang akan hadir sebentar lagi, dan di dalam hadits tersebut disebutkan,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Shalat Jum’at adalah kewajiban yang benar-benar wajib atas setiap Muslim..”

ATAS SIAPA IA DIWAJIBKAN ?

Sholat Jum’at wajib atas setiap Muslim laki-laki, merdeka, dewasa, berakal, mampu menghadirinya dan mukim. Maka shalat ini tidak wajib atas hamba sahaya, wanita, anak-anak, orang gila, orang sakit atau musafir, berdasarkan sabda Nabi ,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ، إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Shalat Jum’at adalah sesuatu yang benar-benar wajib atas setiap Muslim secara berjamaah, kecuali empat golongan: hamba sahaya, atau wanita, atau anak-anak, atau orang sakit.”[4].

Orang musafir tidak wajib shalat Jum’at, karena Nabi tidak melakukannya dalam perjalanan-perjalanan beliau. Saat beliau haji, Hari Arafah bertepatan Hari Jum’at, bersama dengan itu beliau sholat Dzuhur (tidak sholat Jum’at) dan beliau menjamaknya dengan Ashar.

Adapun orang musafir yang singgah di sebuah kota yang sholat Jum’at didirikan di sana, maka hendaklah dia melakukannya bersama kaum Muslimin. Bila seorang hamba sahaya, atau wanita, atau anak-anak, atau orang sakit, atau orang musafir menghadiri sholat Jum’at, maka shalatnya sah dan tidak perlu Shalat Dzuhur.

WAKTU SHOLAT JUMAT

Waktu sholat Jum’at adalah waktu shalat Dzuhur dari sejak tergelincirnya matahari sampai bayangan suatu benda sama dengan panjang benda itu sendiri, berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ

“Bahwa Nabi  melaksanakan shalat Jum’at saat matahari condong.”[5]. Ini diriwayatkan dari perbuatan sahabat Nabi .[6]. Berdasarkan hal ini, maka barang siapa mendapatkan satu rakaat darinya (shalat Jum’at) sebelum waktunya keluar habis, maka dia telah mendapatkan Jum’at, dan bila tidak (mendapatkan satu rakaat), maka hendaklah dia melakukan shalat Dzuhur, berdasarkan sabda Nabi ,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari sebuah shalat, maka dia mendapatkan shalat tersebut.”

KHUTBAH

Khutbah adalah salah satu rukun sholat Jum’at, di mana sholat Jum’at tidak sah kecuali dengannya, karena Nabi senantiasa melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya. Khutbah Jum’at terdiri dari dua khutbah. Disyaratkan untuk sahnya sholat Jum’at, agar kedua khutbah dilakukan sebelum shalat.

SUNNAH-SUNNAH KHUTBAH

1). Disunnahkan berdoa untuk kaum Muslimin dengan doa yang didalamnya terkandung kebaikan agama dan dunia mereka, disertai dengan doa untuk para pemimpin kaum Muslimin agar Allah subhanahu wa ta’ala memberi kebaikan dan taufik, karena,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ إِذَا خَطَبَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ دَعَا وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ وَأَمَّنَ النَّاسُ

“Rasulullah  apabila berkhutbah pada Hari Jum’at, maka beliau berdoa sambil menunjuk dengan jarinya dan orang-orang mengamini.”

2). Hendaknya yang menyampaikan dua khutbah dan yang menjadi imam dalam shalat Jum’at adalah orang yang sama.

3). Hendaklah untuk meninggikan suaranya sesuai kemampuannya, serta berkhutbah dengan berdiri, berdasarkan Firman Allah ta’ala,

وَتَرَكُوكَ قَآئِمًۭا ۚ

“Dan mereka tinggalkan kamu (Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah).” (QS. Al-Jumu’ah: 11). Jabir bin Samurah radhyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ … يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَخْطُبُ، فَمَنْ حَدَّثَكَ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا فَقَدْ كَذَبَ

“Rasulullah  biasa berkhutbah dengan berdiri kemudian beliau duduk, kemudian berdiri lalu berkhutbah, maka barang siapa menceritakan kepadamu bahwa beliau berkhutbah dengan duduk, maka sungguh dia telah berdusta.”[7].

4). Hendaknya berkhutbah di atas mimbar atau tempat yang tinggi, karena,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ يَخْطُبُ عَلَى مِنْبَرِهِ

“Rasulullah  biasa berkhutbah di mimbar beliau.”

Dan mimbar itu tinggi, karena hal tersebut lebih dapat menyampaikan pemberitahuan dan lebih dapat menperdengarkan nasihat kepada para hadirin.

5). Hendaknya khatib duduk diantara dua khutbah sejenak, berdasarkan ucapan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

كَانَ النَّبِيُّ يَخْطُبُ الْخُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ وَكَانَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ

“Nabi  berkhutbah dua khutbah dengan berdiri, dan beliau memisahkan antara keduanya dengan duduk.”[8].

6). Disunnahkan memendekkan dua khutbah, yang kedua lebih pendek daripada yang pertama, berdasarkan hadits Ammar radhiyallahu ‘anhu yang marfu’,

إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ

“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khutbah seseorang adalah tanda dari pemahamannya (dalam urusan agama), maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah shalat.”[9].

Kata (اَلْمَئِنَّةُ) bermakna, tanda.

7). Disunnahkan bagi sang khatib untuk mengucapkan salam kepada hadirin saat menghadap kepada mereka, berdasarkan ucapan Jabir radhiyallahu ‘anhu,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ إِذَا صَعِدَ عَلَى المِنْبَرِ سَلَّمَ

“Rasulullah  apabila naik mimbar, maka beliau mengucapkan salam.”

8). Disunnahkan duduk di mimbar sampai muadzin merampungkan adzan, berdasarkan ucapan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

كَانَ النَّبِيُّ يَجْلِسُ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ حَتَّى يَفْرَغَ الْمُؤَذِّنُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ

“Nabi  duduk manakala naik mimbar sampai muadzin selesai (mengumandangkan adzan) kemudian berdiri lalu berkhutbah.”

9). Disunnahkan bagi khatib untuk berkhutbah dengan bertopang pada tongkat dan yang sepertinya. Juga disunnahkan bagi khatib menghadapkan wajahnya (ke arah jama’ah dan tidak menyamping) berdasarkan perbuatan Nabi .

PERBUATAN YANG HARAM DILAKUKAN SAAT SHOLAT JUM’AT

1). Haram (tidak diperbolehkan) berbicara saat khatib sedang berkhutbah, berdasarkan sabda Nabi ,

مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَالْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا

“Barang siapa berbicara pada Hari Jum’at saat khatib berkhutbah, maka dia seperti keledai yang membawa tumpukan buku tebal…”[10]. Dan berdasarkan sabda Nabi ,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ: أَنْصِتْ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Bila kamu berkata kepada temanmu, ‘Diam’ saat imam sedang berkhutbah, maka kamu telah ‘lagha’.”[11]. Maksudnya, mengucapkan perkataan batil yang tertolak.

2). Haram melangkahi pundak orang-orang saat khutbah berlangsung, berdasarkan sabda Nabi , saat beliau melihat seorang laki-laki melangkahi pundak-pundak,

اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ

“Duduklah, sungguh kamu telah mengganggu.”[12]. Melangkahi pundak orang-orang itu dapat menyakiti mereka yang shalat dan mengganggu mereka, sehingga tidak berkonsentrasi mendengarkan khutbah.

Adapun untuk imam, maka tidak mengapa bila dia melangkahi pundak orang-orang bila dia tidak mungkin bisa sampai ke mimbar kecuali dengan hal itu. Makruh memisahkan antara dua orang, berdasarkan sabda Nabi ,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى

“Barang siapa mandi pada Hari Jum’at…, kemudian dia berangkat, lalu tidak memisahkan diantara dua, lalu dia shalat sebanyak yang ditetapkan baginya…, maka diampuni baginya antara Jum’at tersebut dengan Jum’at yang lain.”[13].

DENGAN APA SHOLAT JUMAT DIDAPATKAN

Sholat Jum’at didapatkan dengan mendapatkan satu rakaat bersama imam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’,

مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ

“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari (shalat) Jum’at, maka sungguh dia telah mendapatkan shalat (Jum’at).”[14]. Jika mendapatkan kurang dari satu rakaat, maka dia harus shalat Dzuhur.

SHOLAT SUNNAH JUMAT

Sholat Jum’at tidak memiliki sunnah qabliyyah, namun tidak mengapa bagi siapa yang hendak shalat sunnah mutlak sebelum masuk waktunya, karena Nabi mendorong hal ini, sebagaimana dalam hadits Salman yang telah disebutkan di atas,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ،…، ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ

“Barang siapa mandi pada Hari Jum’at… kemudian dia berangkat (ke masjid) lalu tidak memisahkan diantara dua orang, lalu dia shalat sebanyak yang ditetapkan baginya…” Juga berdasarkan perbuatan para sahabat dan keutamaan shalat Sunnah. Dan dia tidak patut dicela ketika meninggalkannya, karena sunnah rawatib terletak sesudah shalat Jum’at sebanyak dua raka’at, atau empat, atau enam, berdasarkan perbuatan dan perintah Nabi .

كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ

“Beliau shalat sunnah dua rakaat sesudah shalat Jumat.”[15] Beliau juga bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ

“Bila salah seorang di antara kalian shalat Jumat, maka hendaknya shalat sesudahnya empat rakaat.”[16]. Kemudian dalam sebuah riwayat,

مَنْ مِنْكُم مُصَلِّيًا بَعْدَ الْجُمُعَةِ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

“Barang siapa diantara kalian shalat sesudah Shalat Jum’at, maka hendaknya shalat empat rakaat.”[17]. Adapun enam rakaat, maka ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ سِتًّا

“Bahwa Nabi  shalat sesudah Shalat Jum’at enam rakaat.”[18]. Dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga melakukannya.[19].

Dari keterangan di atas diketahui bahwa shalat sunnah rawatib sesudah Jumat paling sedikit adalah dua rakaat, dan paling adalah enam rakaat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa shalat sunnah rawatib ba’diyyah Jum’at bila dilakukan di masjid, maka empat rakaat, dan bila dilakukan di rumah, maka dua rakaat.[20]. Maka pelaksanaanya melihat kepada kondisinya.

TATA CARA SHOLAT JUMAT

Adapun mengenai tata cara sholat Jumat, Sholat Jumat adalah dua rakaat dengan bacaan jahriyyah (keras), karena Nabi melakukan demikian, dan perbuatan beliau adalah termasuk sunnah beliau, dan para ulama telah berijma’ (sepakat) atas hal tersebut (artinya tidak ada perselisihan antar ulama dalam mengenai hal ini).

Disunnahkan pada rakaat pertama Surat al-Jumu’ah sesudah membaca al-Fatihah dan pada rakaat kedua Surat al-Munafiqun,[21] atau membaca pada rakaat pertama Surat al-A’la sesudah al-Fatihah, dan al-Ghasyiyah pada rakaat kedua sesudah membaca Surat al-Fatihah,[22] berdasarkan perbuatan Nabi .

AMALAN SUNNAH DI HARI JUM’AT

1). BERANGKAT DI AWAL WAKTU

Disunnahkan berangkat di awal waktu menuju sholat Jum’at untuk mendapatkan pahala yang besar. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الأُوْلَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

“Barang siapa yang mandi pada hari Jum’at sebagaimana mandi junub kemdian ia berangakat di waktu pertama (awal waktu), maka seolah-olah dia berkurban unta. Barang siapa berangkat di waktu kedua, maka seolah-olah ia berkurban sapi. Barang siapa berangkat di waktu ketiga, maka seolah-olah dia berkurban kambing jantan bertanduk. Barang siapa berangkat di waktu ke empat, maka seolah-olah ia berkurban ayam. Barang siapa berangkat di waktu ke lima, maka seolah-olah ia berkurban telur. Lalu bila imam keluar (mulai berkhutbah -naik mimbar-), maka para malaikat hadir untuk mendengarkan khutbah.”[23].

Nabi juga bersabda,

مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ، صِيَامُهَا قِيَامُهَا

“Barang siapa yang berkeramas dan mandi pada hari Jum’at, berangkat awal waktu dan mendapati awal khutbah, maka dengan setiap langkah yang diayunkannya dia mendapatkan pahala satu tahun; puasa dan shalatnya.”[24].

2). MANDI JUM’AT

Disunnahkan mandi pada hari Jum’at, hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah hadir,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ

“Barang siapa mandi pada hari Jum’at sebagaimana mandi junub…”

Hendaklah berantusias mandi dan tidak ditinggalkan, khususnya orang-orang yang memiliki bau badan yang tidak sedap. Sebagian kalangan ulama ada yang mewajibkannya berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang marfu’,

غُسْلُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Mandi Jum’at itu wajib atas setiap orang dewasa.[25].

Bisa jadi pendapat yang menyatakan bahwa mandi Jum’at itu wajib lebih kuat dan lebih berhati-hati, dan bahwa ia tidak gugur kecuali disebabkan suatu udzur.

3). MEMAKAI MINYAK WANGI

Disunnahkan memakai minyak wangi, membersihkan diri dan menghilangkan apa yang patut dihilangkan dari badan seperti memotong kuku dan yang sebagainya. Membersihkan diri itu perkara tambahan atas mandi. Hal itu dilakukan dengan menghilangkan bau-bau yang tidak sedap dan sebab-sebabnya seperti bulu-bulu yang diperintahkan oleh syariat agar dicukur dan kuku disunnahkan untuk dipotong begitu juga yang lainnya seperti, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak dan memendekkan kumis disertai dengan menggunakan wewangian, berdasarkan hadits Salman radhiyallahu ‘anhu secara marfu’,

لَا يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ

“Tidaklah seorang laki-laki mandi hari Jum’at, menyucikan diri dengan bersuci (yang sebenar-benarnya) sesuai yang mampu dia  lakukan, dan memakai minyak rambutnya atau memakai minyak wangi yang ada di rumahnya..”

Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Kata (مِنْ ظُهْرٍ) ‘dengan bersuci (yang sebenar-benarnya)’, maksudnya, maksimal dalam menyucikan diri. Dan dari digandengkannya kata ‘menyucikan dir’ tersebut dengan ‘mandi’ dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengannya adalah membersihkan diri dengan mencukur kumis, memotong kuku dan mencukur bulu kemaluan.”[26].

4). MEMAKAI BAJU YANG PALING BAGUS

Disunnahkan memakai baju yang paling bagus, berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

“Bahwa Umar bin al-Khattab pernah melihat jubah yang bergaris sutra di sisi pintu masjid, maka dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, (alangkah baiknya) seandainya engkau memiliki baju ini, lalu memakainya untuk hari Jum’at dan untuk menyambut delegasi saat mereka datang kepadamu’.”

Sungguh imam al-Bukhari rahimahullah berdalil dengan atsar ini untuk memakai pakaian terbaik untuk shalat Jum’at, beliau berkata, “Bab yalbasu Ahsana ma Yajid (Bab Memakai Pakaian Terbaik yang Dia Dapatkan).”

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sisi pengambilan dalil dengannya adalah dari sisi persetujuan Nabi atas ucapan Umar untuk dasar (hukum) berpenampilan bagus pada shalat Jum’at.[27]. Dan berdasarkan sabda Nabi ,

مَاعَلَى أَحَدِكُمْ لَوِ اشْتَرَى ثَوْبَيْنِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ سِوَى ثَوْبَيْ مِهْنَتِهِ

“Tidaklah berat atas salah seorang diantara kalian seandainya dia membeli dua baju untuk (dipakai) hari Jum’at, selain dua baju kerjanya.”[28]. Maksudnya, baju dinas dan kerjanya.

5). PERBANYAK SHALAWAT DI MALAM JUM’AT

Disunnahkan pada hari dan malam Jum’at memperbanyak shalawat kepada Nabi , berdasarkan sabda beliau ,

أَكْثِرُوْا مِنَ الصَّلاَةِ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ

“Perbanyaklah oleh kalian bershalawat kepadaku pada hari Jum’at.”[29].

6). BACA SURAT AS-SAJDAH DAN AL-INSAN PADA SHALAT SHUBUH

Disunnahkan saat shalat Shubuh hari Jum’at membaca surat as-Sajdah dan al-Insan, berdasarkan apa yang selalu dilakukan oleh Nabi .[30].

7). BACA SURAT AL-KAHFI PADA SIANG HARI

Disunnahkan pada siang hari Jum’at membaca surat al-Kahfi, berdasarkan sabda Nabi ,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ سَطَعَ لَهُ نُوْرٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءِ يُضِيْءُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَغُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ

“Barang siapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, maka cahaya akan bersinar baginya dari bawah kakinya sampai ke awan di langit yang menyinarinya pada hari Kiamat dan diampuni baginya diantara dua Jum’at.”[31].

8). SHALAT DUA RAKAAT

Disunnahkan bagi siapa yang masuk masjid pada hari Jum’at agar tidak duduk sehingga terlebih dahulu melaksanakan shalat dua rakaat, karena Nabi memerintahkan hal ini.[32]. Bila imam sedang berkhutbah, maka shalat dua rakaat itu dilakukan dengan ringkas.

9). MEMPERBANYAK DOA

Disunnahkan memperbanyak doa dan mencari waktu mustajab, berdasarkan sabda Nabi ,

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ

“Sesungguhnya pada hari Jum’at ada satu waktu di mana tidaklah seorang hamba Muslim menepatinya sementara dia sedang berdiri shalat, memohon sesuatu kepada Allah melainkan pasti Dia akan kabulkan (memberikan kepadanya).”[33][34].

 



[1] Diriwayatkan oleh an-Nasa’I, 3/89, no. 1371, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 3521.

[2] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 865.

[3] Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim, 6/152.

[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1054, dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 592.

[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 904.

[6] Lihat Fath al-Bari, 2/450.

[7] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 862.

[8] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 928 dan Muslim, no. 861.

[9] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 689.

[10] Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/230. Ibnu Hajar berkata dalam Bulugh al-Maram, “Sanadnya tidak mengapa.” Subul as-Salam, 2/101-102, no. 421.

[11] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 394 dan Muslim, no. 851. Lihat Irwa’ al-Ghalil, 3/84.

[12] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1118, an-Nasa’I, 3/103, al-Hakim, 1/288, dishahihkan oleh al-Hakim, dan ia disetujui oleh adz-Dzhabi. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibn Majah, no. 916.

[13] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 910.

[14] Diriwayatkan oleh Ibnu Maja, no. 1121, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibn Majah, no. 927, 928.

[15] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 937 dan Muslim, no. 882.

[16] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 881.

[17] Shahih Muslim, no. 881-69.

[18] Asy-Syarh al-Mumthi’, 4/102.

[19] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1130.

[20] Zad al-Ma’ad, 1/440.

[21] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 877.

[22] Diriwayatkan oelh Muslim, no. 878.

[23] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 881 dan Muslim, no. 850.

[24] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 496 dan beliau menghasankannya. Dihasankan juga oleh al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib, 1/247.

[25] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 879 dan Muslim, no. 846.

[26] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 883. Lihat Fath al-Bari, 2/432.

[27] Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, 2/434.

[28] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1078 dan Ibnu Majah, no. 1095, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, no. 898.

[29] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1047, an-Nasa’I, 3/91, Ibnu Majah, no. 1085, al-Hakim, 1/278 dan beliau menshahihkannya, dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 889.

[30] Shahih al-Bukhari, no. 891.

[31] Diriwayatkan oleh al-Hakim, 2/368 dan beliau menshahihkannya. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, 3/939.

[32] Lihat Shahih al-Bukhari, no. 930.

[33] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 935 dan Muslim no. 852

[34] [Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’ Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli 2019 M].



Posting Komentar untuk "Sholat Jumat: Tata Cara dan Khutbah Jumat"