Sholat Jumat merupakan
amalan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Dan ini
merupakan syiar bagi kaum muslimin di hari raya jumat. Oleh karna itu,
hendaklah bagi seorang muslim untuk memperhatikannya dan semangat beribadah
didalamnya, karna diakhir waktu hari jumat terdapat waktu dikabulkannya doa
bagi orang muslim, sebagaimana penjelasan yang akan datang,
HUKUM DAN DALIL SHOLAT
JUMAT
Sholat Jumat hukumnya
adalah fardhu ‘ain atas kaum laki-laki, berdasarkan Firman
Allah subhanahu wa ta’ala,
يَآأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ
لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟
ٱلْبَيْعَ ۚ
“Wahai orang-orang
yang beriman, apabila telah diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at,
maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9).
Dan berdasarkan sabda
Nabi ﷺ,
رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Berangkat shalat
Jumat adalah wajib atas setiap orang dewasa.”[1]. Dan sabda Nabi ﷺ,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ
أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ
الْغَافِلِينَ
“Hendaknya orang-orang
itu menghentikan tindakan mereka meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan
mengunci hati mereka, kemdian mereka pasti menjadi orang-orang yang lalai.”[2].
An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Hadits ini mengandung ketetapan bahwa sholat Jumat adalah fardhu ain.”[3].
Dan berdasarkan hadits berikut yang akan hadir sebentar lagi, dan di dalam
hadits tersebut disebutkan,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Shalat Jum’at adalah
kewajiban yang benar-benar wajib atas setiap Muslim..”
ATAS SIAPA IA
DIWAJIBKAN ?
Sholat Jum’at wajib
atas setiap Muslim laki-laki, merdeka, dewasa, berakal, mampu
menghadirinya dan mukim. Maka shalat ini tidak wajib atas hamba
sahaya, wanita, anak-anak, orang gila, orang sakit atau musafir, berdasarkan
sabda Nabi ﷺ,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي
جَمَاعَةٍ، إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ
مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at adalah
sesuatu yang benar-benar wajib atas setiap Muslim secara berjamaah, kecuali
empat golongan: hamba sahaya, atau wanita, atau anak-anak, atau orang sakit.”[4].
Orang musafir tidak
wajib shalat Jum’at, karena Nabi ﷺ tidak melakukannya
dalam perjalanan-perjalanan beliau. Saat beliau haji, Hari Arafah bertepatan
Hari Jum’at, bersama dengan itu beliau sholat Dzuhur (tidak sholat Jum’at) dan
beliau menjamaknya dengan Ashar.
Adapun orang musafir
yang singgah di sebuah kota yang sholat Jum’at didirikan di sana, maka
hendaklah dia melakukannya bersama kaum Muslimin. Bila seorang hamba sahaya,
atau wanita, atau anak-anak, atau orang sakit, atau orang musafir menghadiri sholat
Jum’at, maka shalatnya sah dan tidak perlu Shalat Dzuhur.
WAKTU SHOLAT JUMAT
Waktu sholat Jum’at
adalah waktu shalat Dzuhur dari sejak tergelincirnya matahari sampai bayangan
suatu benda sama dengan panjang benda itu sendiri, berdasarkan hadits Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ
“Bahwa Nabi ﷺ melaksanakan shalat
Jum’at saat matahari condong.”[5]. Ini diriwayatkan dari perbuatan sahabat Nabi ﷺ.[6].
Berdasarkan hal ini, maka barang siapa mendapatkan satu rakaat darinya (shalat
Jum’at) sebelum waktunya keluar habis, maka dia telah mendapatkan Jum’at, dan
bila tidak (mendapatkan satu rakaat), maka hendaklah dia melakukan shalat
Dzuhur, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Barang siapa
mendapatkan satu rakaat dari sebuah shalat, maka dia mendapatkan shalat
tersebut.”
KHUTBAH
Khutbah adalah salah
satu rukun sholat Jum’at, di mana sholat Jum’at tidak sah kecuali dengannya,
karena Nabi ﷺ senantiasa melakukannya dan tidak pernah
meninggalkannya. Khutbah Jum’at terdiri dari dua khutbah. Disyaratkan untuk
sahnya sholat Jum’at, agar kedua khutbah dilakukan sebelum shalat.
SUNNAH-SUNNAH KHUTBAH
1). Disunnahkan berdoa
untuk kaum Muslimin dengan doa yang didalamnya terkandung kebaikan agama dan
dunia mereka, disertai dengan doa untuk para pemimpin kaum Muslimin agar
Allah subhanahu wa ta’ala memberi kebaikan dan taufik, karena,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ إِذَا خَطَبَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
دَعَا وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ وَأَمَّنَ النَّاسُ
“Rasulullah ﷺ apabila berkhutbah pada Hari Jum’at, maka beliau berdoa
sambil menunjuk dengan jarinya dan orang-orang mengamini.”
2). Hendaknya yang
menyampaikan dua khutbah dan yang menjadi imam dalam shalat Jum’at adalah orang
yang sama.
3). Hendaklah untuk
meninggikan suaranya sesuai kemampuannya, serta berkhutbah dengan berdiri,
berdasarkan Firman Allah ta’ala,
وَتَرَكُوكَ قَآئِمًۭا ۚ
“Dan mereka tinggalkan
kamu (Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah).” (QS.
Al-Jumu’ah: 11). Jabir bin Samurah radhyallahu ‘anhu berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ … يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ
ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَخْطُبُ، فَمَنْ حَدَّثَكَ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا
فَقَدْ كَذَبَ
“Rasulullah ﷺ biasa berkhutbah dengan berdiri kemudian beliau duduk,
kemudian berdiri lalu berkhutbah, maka barang siapa menceritakan kepadamu bahwa
beliau berkhutbah dengan duduk, maka sungguh dia telah berdusta.”[7].
4). Hendaknya
berkhutbah di atas mimbar atau tempat yang tinggi, karena,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ يَخْطُبُ عَلَى مِنْبَرِهِ
“Rasulullah ﷺ biasa berkhutbah di mimbar beliau.”
Dan mimbar itu tinggi,
karena hal tersebut lebih dapat menyampaikan pemberitahuan dan lebih dapat
menperdengarkan nasihat kepada para hadirin.
5). Hendaknya khatib
duduk diantara dua khutbah sejenak, berdasarkan ucapan Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma,
كَانَ النَّبِيُّ يَخْطُبُ الْخُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ
وَكَانَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ
“Nabi ﷺ berkhutbah dua khutbah dengan berdiri, dan beliau
memisahkan antara keduanya dengan duduk.”[8].
6). Disunnahkan
memendekkan dua khutbah, yang kedua lebih pendek daripada yang pertama,
berdasarkan hadits Ammar radhiyallahu ‘anhu yang marfu’,
إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ
مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ
“Sesungguhnya
panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khutbah seseorang adalah tanda dari
pemahamannya (dalam urusan agama), maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah
shalat.”[9].
Kata (اَلْمَئِنَّةُ) bermakna,
tanda.
7). Disunnahkan bagi
sang khatib untuk mengucapkan salam kepada hadirin saat menghadap kepada
mereka, berdasarkan ucapan Jabir radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ إِذَا صَعِدَ عَلَى المِنْبَرِ سَلَّمَ
“Rasulullah ﷺ apabila naik mimbar, maka beliau mengucapkan salam.”
8). Disunnahkan duduk
di mimbar sampai muadzin merampungkan adzan, berdasarkan ucapan Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma,
كَانَ النَّبِيُّ يَجْلِسُ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ حَتَّى
يَفْرَغَ الْمُؤَذِّنُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ
“Nabi ﷺ duduk manakala naik mimbar sampai muadzin selesai
(mengumandangkan adzan) kemudian berdiri lalu berkhutbah.”
9). Disunnahkan bagi
khatib untuk berkhutbah dengan bertopang pada tongkat dan yang sepertinya. Juga
disunnahkan bagi khatib menghadapkan wajahnya (ke arah jama’ah dan tidak
menyamping) berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ.
PERBUATAN YANG HARAM
DILAKUKAN SAAT SHOLAT JUM’AT
1). Haram (tidak
diperbolehkan) berbicara saat khatib sedang berkhutbah, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ
كَالْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا
“Barang siapa
berbicara pada Hari Jum’at saat khatib berkhutbah, maka dia seperti keledai
yang membawa tumpukan buku tebal…”[10]. Dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ: أَنْصِتْ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ
فَقَدْ لَغَوْتَ
“Bila kamu berkata
kepada temanmu, ‘Diam’ saat imam sedang berkhutbah, maka kamu telah ‘lagha’.”[11]. Maksudnya, mengucapkan perkataan batil yang tertolak.
2). Haram melangkahi
pundak orang-orang saat khutbah berlangsung, berdasarkan sabda Nabi ﷺ, saat beliau
melihat seorang laki-laki melangkahi pundak-pundak,
اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ
“Duduklah, sungguh
kamu telah mengganggu.”[12]. Melangkahi pundak orang-orang itu dapat menyakiti
mereka yang shalat dan mengganggu mereka, sehingga tidak berkonsentrasi
mendengarkan khutbah.
Adapun untuk imam,
maka tidak mengapa bila dia melangkahi pundak orang-orang bila dia tidak
mungkin bisa sampai ke mimbar kecuali dengan hal itu. Makruh memisahkan antara
dua orang, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ
بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ
الْأُخْرَى
“Barang siapa mandi
pada Hari Jum’at…, kemudian dia berangkat, lalu tidak memisahkan diantara dua,
lalu dia shalat sebanyak yang ditetapkan baginya…, maka diampuni baginya antara
Jum’at tersebut dengan Jum’at yang lain.”[13].
DENGAN APA SHOLAT
JUMAT DIDAPATKAN
Sholat Jum’at
didapatkan dengan mendapatkan satu rakaat bersama imam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu secara marfu’,
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ
“Barang siapa
mendapatkan satu rakaat dari (shalat) Jum’at, maka sungguh dia telah
mendapatkan shalat (Jum’at).”[14]. Jika mendapatkan kurang dari satu rakaat, maka dia
harus shalat Dzuhur.
SHOLAT SUNNAH JUMAT
Sholat Jum’at tidak
memiliki sunnah qabliyyah, namun tidak mengapa bagi siapa yang
hendak shalat sunnah mutlak sebelum masuk waktunya, karena Nabi ﷺ mendorong hal
ini, sebagaimana dalam hadits Salman yang telah disebutkan di atas,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ،…، ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ
بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ
“Barang siapa mandi
pada Hari Jum’at… kemudian dia berangkat (ke masjid) lalu tidak memisahkan
diantara dua orang, lalu dia shalat sebanyak yang ditetapkan baginya…” Juga berdasarkan perbuatan para sahabat dan
keutamaan shalat Sunnah. Dan dia tidak patut dicela ketika meninggalkannya,
karena sunnah rawatib terletak sesudah shalat Jum’at sebanyak dua raka’at, atau
empat, atau enam, berdasarkan perbuatan dan perintah Nabi ﷺ.
كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ
“Beliau shalat sunnah
dua rakaat sesudah shalat Jumat.”[15] Beliau ﷺ juga bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا
أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ
“Bila salah seorang di
antara kalian shalat Jumat, maka hendaknya shalat sesudahnya empat rakaat.”[16]. Kemudian dalam sebuah riwayat,
مَنْ مِنْكُم مُصَلِّيًا بَعْدَ الْجُمُعَةِ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
“Barang siapa diantara
kalian shalat sesudah Shalat Jum’at, maka hendaknya shalat empat rakaat.”[17]. Adapun enam rakaat, maka ini berdasarkan riwayat dari
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ سِتًّا
“Bahwa Nabi ﷺ shalat sesudah Shalat Jum’at enam rakaat.”[18]. Dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga
melakukannya.[19].
Dari keterangan di
atas diketahui bahwa shalat sunnah rawatib sesudah Jumat
paling sedikit adalah dua rakaat, dan paling adalah enam rakaat. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa shalat
sunnah rawatib ba’diyyah Jum’at bila dilakukan di masjid, maka
empat rakaat, dan bila dilakukan di rumah, maka dua rakaat.[20].
Maka pelaksanaanya melihat kepada kondisinya.
TATA CARA SHOLAT JUMAT
Adapun mengenai tata
cara sholat Jumat, Sholat Jumat adalah dua rakaat dengan bacaan jahriyyah (keras),
karena Nabi ﷺ melakukan demikian, dan perbuatan beliau
adalah termasuk sunnah beliau, dan para ulama telah berijma’ (sepakat) atas hal
tersebut (artinya tidak ada perselisihan antar ulama dalam mengenai hal ini).
Disunnahkan pada
rakaat pertama Surat al-Jumu’ah sesudah membaca al-Fatihah dan pada rakaat
kedua Surat al-Munafiqun,[21]
atau membaca pada rakaat pertama Surat al-A’la sesudah al-Fatihah, dan
al-Ghasyiyah pada rakaat kedua sesudah membaca Surat al-Fatihah,[22]
berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ.
AMALAN SUNNAH DI HARI
JUM’AT
1). BERANGKAT DI AWAL
WAKTU
Disunnahkan berangkat
di awal waktu menuju sholat Jum’at untuk mendapatkan pahala yang besar. Dalam
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ
رَاحَ فِي السَّاعَةِ الأُوْلَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا
قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ
بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barang siapa yang
mandi pada hari Jum’at sebagaimana mandi junub kemdian ia berangakat di waktu
pertama (awal waktu), maka seolah-olah dia berkurban unta. Barang siapa
berangkat di waktu kedua, maka seolah-olah ia berkurban sapi. Barang siapa
berangkat di waktu ketiga, maka seolah-olah dia berkurban kambing jantan
bertanduk. Barang siapa berangkat di waktu ke empat, maka seolah-olah ia berkurban
ayam. Barang siapa berangkat di waktu ke lima, maka seolah-olah ia berkurban
telur. Lalu bila imam keluar (mulai berkhutbah -naik mimbar-), maka para
malaikat hadir untuk mendengarkan khutbah.”[23].
Nabi ﷺ juga bersabda,
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ، كَانَ
لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ، صِيَامُهَا قِيَامُهَا
“Barang siapa yang
berkeramas dan mandi pada hari Jum’at, berangkat awal waktu dan mendapati awal
khutbah, maka dengan setiap langkah yang diayunkannya dia mendapatkan pahala
satu tahun; puasa dan shalatnya.”[24].
2). MANDI JUM’AT
Disunnahkan mandi pada
hari Jum’at, hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang
telah hadir,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ
“Barang siapa mandi
pada hari Jum’at sebagaimana mandi junub…”
Hendaklah berantusias
mandi dan tidak ditinggalkan, khususnya orang-orang yang memiliki bau badan
yang tidak sedap. Sebagian kalangan ulama ada yang mewajibkannya berdasarkan
hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang marfu’,
غُسْلُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Mandi Jum’at itu
wajib atas setiap orang dewasa.”[25].
Bisa jadi pendapat
yang menyatakan bahwa mandi Jum’at itu wajib lebih kuat dan lebih berhati-hati,
dan bahwa ia tidak gugur kecuali disebabkan suatu udzur.
3). MEMAKAI MINYAK
WANGI
Disunnahkan memakai
minyak wangi, membersihkan diri dan menghilangkan apa yang patut dihilangkan
dari badan seperti memotong kuku dan yang sebagainya. Membersihkan diri itu
perkara tambahan atas mandi. Hal itu dilakukan dengan menghilangkan bau-bau
yang tidak sedap dan sebab-sebabnya seperti bulu-bulu yang diperintahkan oleh
syariat agar dicukur dan kuku disunnahkan untuk dipotong begitu juga yang
lainnya seperti, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak dan memendekkan
kumis disertai dengan menggunakan wewangian, berdasarkan hadits Salman radhiyallahu
‘anhu secara marfu’,
لَا يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا
اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ
“Tidaklah seorang
laki-laki mandi hari Jum’at, menyucikan diri dengan bersuci (yang
sebenar-benarnya) sesuai yang mampu dia lakukan, dan memakai minyak
rambutnya atau memakai minyak wangi yang ada di rumahnya..”
Ibnu Hajar
al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Kata (مِنْ ظُهْرٍ) ‘dengan bersuci (yang sebenar-benarnya)’,
maksudnya, maksimal dalam menyucikan diri. Dan dari digandengkannya kata
‘menyucikan dir’ tersebut dengan ‘mandi’ dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengannya adalah membersihkan diri dengan mencukur kumis, memotong
kuku dan mencukur bulu kemaluan.”[26].
4). MEMAKAI BAJU YANG
PALING BAGUS
Disunnahkan memakai
baju yang paling bagus, berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma,
“Bahwa Umar bin
al-Khattab pernah melihat jubah yang bergaris sutra di sisi pintu masjid, maka
dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, (alangkah baiknya) seandainya engkau memiliki
baju ini, lalu memakainya untuk hari Jum’at dan untuk menyambut delegasi saat
mereka datang kepadamu’.”
Sungguh imam al-Bukhari rahimahullah berdalil
dengan atsar ini untuk memakai pakaian terbaik untuk shalat Jum’at, beliau
berkata, “Bab yalbasu Ahsana ma Yajid (Bab Memakai Pakaian Terbaik
yang Dia Dapatkan).”
Al-Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullah berkata, “Sisi pengambilan dalil dengannya
adalah dari sisi persetujuan Nabi ﷺ atas ucapan
Umar untuk dasar (hukum) berpenampilan bagus pada shalat Jum’at.[27].
Dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
مَاعَلَى أَحَدِكُمْ لَوِ اشْتَرَى ثَوْبَيْنِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ
سِوَى ثَوْبَيْ مِهْنَتِهِ
“Tidaklah berat atas
salah seorang diantara kalian seandainya dia membeli dua baju untuk (dipakai)
hari Jum’at, selain dua baju kerjanya.”[28].
Maksudnya, baju dinas dan kerjanya.
5). PERBANYAK SHALAWAT
DI MALAM JUM’AT
Disunnahkan pada hari
dan malam Jum’at memperbanyak shalawat kepada Nabi ﷺ, berdasarkan
sabda beliau ﷺ,
أَكْثِرُوْا مِنَ الصَّلاَةِ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
“Perbanyaklah oleh
kalian bershalawat kepadaku pada hari Jum’at.”[29].
6). BACA SURAT
AS-SAJDAH DAN AL-INSAN PADA SHALAT SHUBUH
Disunnahkan saat
shalat Shubuh hari Jum’at membaca surat as-Sajdah dan al-Insan, berdasarkan apa
yang selalu dilakukan oleh Nabi ﷺ.[30].
7). BACA SURAT
AL-KAHFI PADA SIANG HARI
Disunnahkan pada siang
hari Jum’at membaca surat al-Kahfi, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ سَطَعَ لَهُ نُوْرٌ مِنْ تَحْتِ
قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءِ يُضِيْءُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَغُفِرَ لَهُ
مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ
“Barang siapa membaca
surat al-Kahfi pada hari Jum’at, maka cahaya akan bersinar baginya dari bawah
kakinya sampai ke awan di langit yang menyinarinya pada hari Kiamat dan
diampuni baginya diantara dua Jum’at.”[31].
8). SHALAT DUA RAKAAT
Disunnahkan bagi siapa
yang masuk masjid pada hari Jum’at agar tidak duduk sehingga terlebih dahulu melaksanakan
shalat dua rakaat, karena Nabi ﷺ memerintahkan
hal ini.[32].
Bila imam sedang berkhutbah, maka shalat dua rakaat itu dilakukan dengan
ringkas.
9). MEMPERBANYAK DOA
Disunnahkan
memperbanyak doa dan mencari waktu mustajab, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ
وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ
“Sesungguhnya pada
hari Jum’at ada satu waktu di mana tidaklah seorang hamba Muslim menepatinya
sementara dia sedang berdiri shalat, memohon sesuatu kepada Allah melainkan
pasti Dia akan kabulkan (memberikan kepadanya).”[33][34].
[1] Diriwayatkan oleh an-Nasa’I, 3/89, no.
1371, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no.
3521.
[2] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 865.
[3] Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim, 6/152.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1054,
dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 592.
[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 904.
[6] Lihat Fath al-Bari, 2/450.
[7] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 862.
[8] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 928 dan Muslim, no. 861.
[9] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 689.
[10] Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/230. Ibnu Hajar
berkata dalam Bulugh al-Maram, “Sanadnya tidak mengapa.” Subul
as-Salam, 2/101-102, no. 421.
[11] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 394 dan Muslim, no. 851. Lihat Irwa’ al-Ghalil, 3/84.
[12] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1118,
an-Nasa’I, 3/103, al-Hakim, 1/288, dishahihkan oleh al-Hakim, dan ia disetujui
oleh adz-Dzhabi. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibn
Majah, no. 916.
[13] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 910.
[14] Diriwayatkan oleh Ibnu Maja, no. 1121,
dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibn Majah, no.
927, 928.
[15] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 937 dan Muslim, no. 882.
[16] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 881.
[17] Shahih Muslim, no. 881-69.
[18] Asy-Syarh al-Mumthi’, 4/102.
[19] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1130.
[20] Zad al-Ma’ad, 1/440.
[21] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 877.
[22] Diriwayatkan oelh Muslim, no. 878.
[23] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 881 dan Muslim, no. 850.
[24] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 496 dan
beliau menghasankannya. Dihasankan juga oleh al-Mundziri dalam at-Targhib
wa at-Tarhib, 1/247.
[25] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 879 dan Muslim, no. 846.
[26] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 883.
Lihat Fath al-Bari, 2/432.
[27] Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, 2/434.
[28] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1078 dan
Ibnu Majah, no. 1095, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu
Majah, no. 898.
[29] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1047,
an-Nasa’I, 3/91, Ibnu Majah, no. 1085, al-Hakim, 1/278 dan beliau menshahihkannya,
dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih
Ibni Majah, no. 889.
[30] Shahih al-Bukhari, no. 891.
[31] Diriwayatkan oleh al-Hakim, 2/368 dan
beliau menshahihkannya. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’
al-Ghalil, 3/939.
[32] Lihat Shahih al-Bukhari, no.
930.
[33] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari no. 935 dan Muslim no. 852
[34] [Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’ Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli 2019 M].
Posting Komentar untuk "Sholat Jumat: Tata Cara dan Khutbah Jumat"