Syarat-syarat sah shalat.
Perbedaan antara syarat, rukun, dan wajib shalat yaitu, kalau syarat itu
membahas apa saja yang di luar ibadah, kalau rukun itu di dalam ibadah, dan
kalau syarat itu sifatnya mustamir (yakni harus selalu ada)
dan batal jika ditinggalkan baik (sengaja ataupun lupa), kalau rukun itu (tidak
harus selalu ada) dan batal jika ditinggalkan baik (sengaja ataupun lupa)
sedangkan wajib, kalau wajib dia sengaja ditinggalkan maka membatalkan ibadah
tersebut tapi kalau ia lupa maka dia harus sujud sahwi.
Syarat-syarat shalat
ada sembilan[1]:
Maka tidak sah bagi
orang kafir untuk mengerjakan shalat, karena amalnya orang kafir itu batal.
Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’alaberfirman;
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ
مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
“Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar [39]: 65).
Jika ada orang gila
mengerjakan shalat, maka shalatnya tidak diterima dan tidak sah karena tidak
ada pembebanan (taklif) kepadanya. Sebagaiamana sabda Nabi ﷺ;
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِلَ
“Pena pencatat amal
dan dos aitu telah diangkat dari tiga; orang yang yang tidur hingga ia bangun,
anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang yang gila hingga ia berakal.”
3. BALIGH
Jika ada anak-anak,
maka bagi mereka tidak diwajibkan untuk shalat sampai ia baligh, akan tetapi
tetap diperintahkan saat berumur tujuh tahun dan dipukul (dengan pukulan yang
mendidik) ketika ia berumur sepuluh tahun (jika ia meninggalkannya). Hal ini
berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
“Perintahkanlah
anak-anak kalian agar shalat saat mereka berumur tujuh tahun.”[2] Maka baligh itu merupakan syarat shalat.
4. THAHARAH (SUCI)
Yang dimaksud dengan
thaharah (suci) disini ialah suci dari hadats besar dan kecil (bila mampu).
Berdasarkan hadits Nabi ﷺ yang berbunyi,
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ
“Allah tidak akan
menerima shalat tanpa bersuci.”[3]
5. MASUK WAKTU SHOLAT
YANG DITETAPKAN
Hal ini berdasarkan
Firman Allah subhanahu wa ta’ala;
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا
مَّوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat
itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.” (QS. An Nisa [4]:
103). Juga berdasarkan hadits Jibril yang mengimami Nabi ﷺ ketika shalat
lima waktu, kemudian Jibril berkata,
مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ وَقْتٌ
“Waktu yang terletak
diantara kedua waktu ini adalah waktu (yang dioerbolehkan untuk shalat).”[4] Dengan hal itu, kita ketahui bahwa tidak sah shalat
sebelum masuk waktunya dan sesudahnya kecuali jika ada udzur syar’i.
6. MENUTUP AURAT
Menurut aurat bila mampu
dengan sesuatu yang tidak menampakkan warna kulit, berdasarkan Firman Allah
ta’ala,
يا بَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ
مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al Araf [7]: 31). Begitu juga Nabi ﷺ bersabda,
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidak akan
menerima shalat wanita yang baligh, kecuali dengan penutup kepala (kerudung).”[5]
Adapun mengenai
batasan auratnya yaitu;
- Aurat laki-laki dewasa adalah bagian tubuh antara
lutut dengan pusar, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada
Jabir radhiyallahu ‘anhu,
إِذَا صَلَّيْتَ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ فَإِنْ كَانَ وَاسِعًا
فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاتَّزِرْ بِهِ
“Bila kamu shalat
dengan satu lembar kain, bila ia lebar, maka berselimutlah dengannya, dan bila
sempit, maka bersarunglah dengannya.”[6]
Intinya; Yang lebih
baik dan lebih utama adalah menutupi pundaknya dengan pakaian, karena Nabi ﷺ melarang
seorang lelaki untuk melakukan shalat mengenakan pakaian yang tidak menutupi
pundaknya. (Hendaknya bagi orang yang shalat untuk memakai pakaian yang rapih
ketika ingin shalat).
- Adapun untuk aurat wanita adalah seluruhnya kecuali
wajah dan kedua telapak tangannya,Kecuali bila dia shalat didepan
laki-laki asing (yang bukan mahramnya), maka bagi dia untuk menutup
semuanya, berdasarkan sabda Nabi -,
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
“Wanita adalah aurat.”[7] Begitu juga sabda Nabi ﷺ,
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidak akan
menerima shalat wanita yang baligh, kecuali dengan penutup kepala (kerudung).” Dan syarat shalat setelahnya yaitu,
7. MENJAUHI NAJIS
Maksudnya menjauhi
najis pada badan, pakaian, dan tempat shalat bila mampu. Berdasarkan Firman
Allah ta’ala;
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
‘Dan pakaianmu
bersihkanlah,.’(QS. Al Mudatsir:
4). Begitu juga sabda Nabi ﷺ,
تَنَزَّهُوا عَنِ البَوْلِ؛ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ
القَبْرِ مِنْهُ
“Bersihkanlah diri
kalian dari kencing, karena sesungguhnya kebanyakan adzab kubur itu disebabkan
olehnya.”[8]
Dan berdasarkan sabda
Nabi ﷺ kepada Asma’ binti Abi Bakar radhiyallahu ‘anha tentang
darah haid yang mengenai pakaiannya,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ
وَتُصَلِّي فِيهِ
“Hendaklah kamu
mengeriknya, kemudian menguceknya dengan menggunakan air, kemudian membilasnya,
kemudian shalat dengan mengenakannya.”[9]
Serta berdasarkan
sabda Nabi ﷺ kepada para sahabatnya, ketika ada orang
Arab badui kencing dimasjid, Nabi ﷺ bersabda;
أَهْرِيْقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ
“Siramkanlah pada
kencingnya dengan setimba besar air.”[10]
8. MENGHADAP KIBLAT
Menghadap kiblat bila
mampu, berdasarkan Firman Allah ta’ala,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ
“Palingkanlah mukamu
ke arah Masjidil Haram.”(QS.
Al Baqarah: 144). Dan juga berdasarkan hadits,
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ
اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ
“Apabila kamu berdiri
(untuk) shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah kekiblat.”[11]
9. BERNIAT DIDALAM HATI
Berniat, jika
seseorang ingin melakukan shalat hendaknya ia ikhlas karena Allah dan bukan
karena lainnya. Dan niat itu tidak gugur dalam keadaan apapun, berdasarkan
hadits Umar radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan
itu tergantung pada niatnya.”
Dan Ingat! Tempat niat
itu dihati. Hakikat niat adalah tekad hati untuk melakukan sesuatu, dan tidak
disyariatkan untuk mengucapkannya, karena Nabi ﷺ tidak pernah
mengucapkannya sekali pun, dan tidak ada Riwayat dari sahabat pun tentang
melafadzkan niat ketika ingin shalat. Maka niat ini masuk pada bagian syarat
shalat.[12]
[1] Ia adalah sesuatu yang sahnya tergantung
padanya.
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/201; Abu Dawud,
no. 494; dan at-Tirmidzi, no. 407, beliau berkata, “Hadits hasan.” Dishahihkan
oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, 1/201; dan dishahihkan juga
oleh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil, no. 247.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 224.
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/330; an-Nasai,
1/91; dan at-Tirmidzi, no. 150, hadits ini adalah shahih. Lihat Irwa’
al-Ghalil, no. 250.
[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 627;
at-Tirmidzi, no. 375; dan Ibnu Majah, no. 655; dishahihkan oleh al-Albani
dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 196. Maksud wanita haid dalam hadits
ini adalh wanita yang mencapai usia dewasa yang dibebanin kewajiban oleh
syariat.
[6] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 361 dan Muslim, no. 3010.
[7] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 397 dan
dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 273.
[8] Diriwayatkan oleh ad-Daruquthi, 1/97, no.
453, dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no.
280.
[9] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 227 dan Muslim, no. 291
[10] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 220.
[11] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 6251 dan Muslim, no. 397.
[12] [Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’ Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli 2019 M]. Dengan sedikit penambahan. Wallahu A’lam
Posting Komentar untuk "Apa Saja Syarat-Syarat Sah Shalat?"