Shalat sunnah merupakan
amalan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Dan
yang dimaksud dengan sunnah adalah segala ibadah ketaatan yang tidak wajib dan
ia memiliki fadhilah-fadhilah atau keutamaan-keutamaan yang banyak dan besar.
Oleh karna itu, hendaklah bagi seorang muslim untuk memperhatikannya dan
semangat beribadah didalamnya, karna amalan yang sunnah ini bisa menambah
pahala seseorang kelak di hari kiamat nanti. Adapun penjelasannya sebagaimana
berikut,
KEUTAMAAN SHALAT
SUNNAH
Shalat Sunnah termasuk
sarana mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang
paling utama setelah jihad di jalan Allah dan mencari ilmu, karena Nabi ﷺ selalu
mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat-shalat sunnah, dan berdasarkan
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيَّاً
فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ. وَمَا تَقَرَّبَ إِلِيَّ عَبْدِيْ بِشَيءٍ أَحَبَّ
إِلِيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ. ولايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Sesungguhnya Allah
berfirman: ”Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan
perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan
sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan
baginya.Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan
nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya…”.[1][1].
HIKMAH DARI
PENSYARIATAN SHALAT SUNNAH
Sungguh Allah ta’ala
telah mensyariatkan shalat sunnah sebagai rahmat bagi hamba-hambaNya. Dia
menetapkan untuk setiap ibadah wajib ibadah sunnah yang sejenis dengannya, agar
seorang Mukmin bertambah imannya dan menaikkan derajatnya melalui shalat-shalat
sunnah tersebut, dan agar ibadah wajibnya bisa disempurnakan dan ditambal pada
Hari Kiamat dengan shalat sunnah tersebut, karena (pelaksanaan) shalat wajib
tidak terlepas dari kekurangan, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ فَإِنْ أَتَمَّهَا وَإِلَّا قِيلَ
انْظُرُوا هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ أُكْمِلَتْ
الْفَرِيضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ يُفْعَلُ بِسَائِرِ الْأَعْمَالِ
الْمَفْرُوضَةِ مِثْلُ ذَلِكَ
“Pertama kali yang
akan dihitung atas seorang muslim pada hari kiamat adalah shalat wajibnya, jika
ia menyempurnakannya (akan diterima), jika tidak menyempurnakannya maka akan
dikatakan, “Lihatlah, apakah ia mempunyai ibadah thathawu’? jika ia mempunyai
ibadah thathawu’ maka sempurnakanlah ibadah wajib dengan ibadah tathawu’nya, ”
kemudian semua amalan wajib akan dilakukan seperti itu.”[2][2].
PEMBAGIAN SHALAT
SUNNAH
Shalat sunnah menjadi
dua bagian:
Pertama: Shalat yang terikat dengan waktu-waktu tertentu,
dan disebut dengan shalat sunnah muqayyad. Diantara shalat-shalat
ini ada yang mengikuti shalat wajib seperti sunnah rawatib, dan diantaranya ada
yang tidak mengikuti shalat wajib seperti shalat Witir, Dhuha, dan Kusuf
(gerhana).[3][3].
Kedua: Shalat yang tidak terikat dengan waktu-waktu
tertentu, dan disebut dnegan shalat sunnah mutlak.
Bagian pertama terbagi
lagi menjadi berbagai macam. Sebagian lebih muakkad (yang
ditekankan) daripada sebagian yang lain, dan yang paling muakkad (yang
ditekankan) adalah Shalat Kusuf (gerhana), kemudian Witir, kemudian Shalat
Istisqa’ (shalat meminta hujan), kemudian Tarawih.
Adapun bagian yang
kedua, maka disyariatkan di seluruh malam dan di siang hari -selain waktu-waktu
larangan-. Dan shalat malam lebih utama daripada shalat siang.
SHALAT SUNNAH YANG
DIANJURKAN BERJAMAAH
Disunnahkan shalat
berjamaah untuk Shalat Tarawih, Istisqa’, dan Kusuf.
JUMLAH SHALAT SUNNAH RAWATIB
Kata (الرواتب) adalah jamak
dari (الراتبة) yang berarti selamanya terus berlangsung.
Shalat rawatib adalah shalat yang mengikuti shalat fardhu. Faidah shalat ini
adalah menambal kekurangan dan cacat yang terjadi pada shalat fardhu
sebagaimana telah dijelaskan.
Jumlah rawatib adalah
sepuluh rakaat, ia tersebut dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, dia berkata,
حَفِظتُ عَن رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَكْعَتَينِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظهرِ
وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ
وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْغَدَاةِ كَانَتْ سَاعَةٌ لَا أَدخُلُ عَلَى رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا، فَحَدَّثَتْنِي حَفْصَةُ: أنَّهُ
كان إذا طلع الفجرُ وأذَّنَ المؤذن صلى ركعتين
“Aku menghafal dari
Rasulullah dua rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat sesudah Zhuhur, dua rakaat
sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya, dan dua rakaat sebelum Shubuh, ini
adalah waktu di mana aku tidak masuk menemui Rasulullah padanmya, lalu Hafshah
menceritakan kepadaku bahwa bila fajar terbit, dan muadzin telah
mengumandangkan adzan, maka beliau shalat dua rakaat.”[4][4].
Seorang Muslim
ditekankan untuk menjaga dua belas rakaat berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ
ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ
لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَوْ إِلَّا بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ
“Tidaklah seorang
muslim mendirikan shalat sunnah ikhlas karena Allah sebanyak dua belas rakaat
selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di
surga.” -Atau dengan redaksi lain- “Melainkan akan dibangunkan baginya rumah di
surga.”[5][5].
Dua belas rakaat ini
adalah sepuluh rakaat yang disebutkan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, hanya saja sebelum Zhuhur adalah empat rakaat (yakni ditambah
dua, Ed.T.). At-Tirmidzi menambahkan dalam satu riwayat hadits Ummu Habibah
diatas,
أَربَعًا قَبْلَ الظُهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا،
وَرَكعَتَيْنِ بَعدَ المَغرِبِ، وَرَكعَتَينِ بَعدَ العِشَاءِ، وَرَكعَتَينِ قَبلَ
صَلَاةِ الفَجْرِ
“Empat rakaat sebelum
Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat
sesudah Isya, dan dua rakaat sebelum Shubuh.”[6][6].
Dan berdasarkan apa
yang diriwayatkan secara shahih dalam ash-Shahih dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata,
كَانَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ
“Nabi ﷺ tidak pernah
meninggalkan shalat sunnat empat rakaat sebelum Zhuhur.”[7][7].
Rawatib yang
paling muakkad (ditekankan) adalah dua rakaat sebelum Shubuh
-sunnah qabliyah fajar-, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat fajar
lebih baik daripada dunia seisinya.”[8][8].
Dan berdasarkan ucapan
Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang dua rakaat ini,
وَلَمْ يَكُنْ يَدَعْهُمَا أَبَدًا
“Nabi tidaklah beliau
pernah meninggalkannya.”[9][9].
HUKUM SHALAT WITIR,
KEUTAMAAN, DAN WAKTUNYA
Hukumnya: Hukum shalat witir adalah sunnah muakkad.
Rasulullah ﷺ mengajak dan menganjurkannya, seraya
beliau bersabda,
إن الله وَتْرٌ يُحِبُّ الْوَتْرَ
“Sesungguhnya Allah
itu witir dan menyukai yang ganjil.”[10][10].
Nabi ﷺ bersabda,
يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ
يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Wahai ahli Al-Qur’an,
shalat Witirlah kalian karena Allah adalah Dzat yang Maha Esa dan menyukai
sesuatu yang ganjil.”[11][11].
Waktunya: Waktu shalat witir adalah antara Shalat Isya dengan
Shalat Shubuh berdasarkan ‘ijma’ para ulama yang mendasarkannya pada perbuatan
dan sabda Nabi ﷺ. Beliau bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَمَدَّكُمْ بِصَلَاةٍ
وَهِيَ خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ وَهِيَ صَلَاةُ الْوِتْرِ مَا بَيْنَ
الْعِشَاءِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan bagi kalian sebuah shalat yang dia lebih baik bagi kalian
daripada unta merah, yaitu shalat Witir, dan waktunya berada diantara shalat
Isya hingga terbit fajar.”[12][12].
Bila fajar terbit,
maka tidak ada Shalat Witir, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ
أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua
rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu
Subuh, hendaklah ia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang
telah dilaksanakan sebelumnya.”[13][13].
Hadits ini adalah
dalil keluarnya batas waktu Shalat Witir dengan masuknya waktu Shubuh, yakni
terbitnya fajar. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Yang lebih jelas darinya sebagai dalil adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan an-Nasa’I, dishahihkan oleh Abu Awanah dan lainnya bahwa Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَنْ صَلَّى مِنَ اللَّيْلِ فَليَجعَل آخِرَ صَلَاتِه
وِترًا, فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ كَانَ يَأمُرُ بِذَلِكَ, فَإذا كانَ الفَجرُ فَقَد
ذَهَبَ كُلُّ صَلَاةِ اللَّيلِ وَالوِترُ
“Barangsiapa shalat
malam, maka hendaknya menjadikan witir sebagai akhir shalatnya (yakni
penutupnya), karena sesungguhnya Rasulullah menerintahkan hal itu. Lalu bila
fajar terbit, maka telah habislah waktu seluruh shalat malam dan witir.”[14][14].
Shalat Witir diakhir
malam lebih utama daripada diawal malam, akan tetapi bagi yang merasa tidak
bisa bangun diakhir malam, dianjurkan menyegerakannya diawal malam, dan bagi
siapa yang merasa bisa bangun diakhir malam dianjurkan menundanya sampai akhir
malam, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ
فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ
اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Barangsiapa yang
khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia melakukan witir di awal
malam. Dan siapa yang berharap mampu bangun di akhir malam, hendaklah ia witir
di akhir malam, karena shalat di akhir malam disaksikan (oleh para malaikat)
dan hal itu adalah lebih afdlal (utama).”[15][15].
TATA CARA SHALAT WITIR
DAN JUMLAH RAKAATNYA
Shalat Witir minimal
satu rakaat, berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang marfu’,
اَلْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ
“Witir itu satu rakaat
di akhir malam.”[16][16].
Dan berdasarkan hadits
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma diatas,
صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“… maka hendaklah ia
shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan
sebelumnya.”
Boleh witir tiga
rakaat, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان
يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي
أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
“Bahwa Nabi ﷺ mengerjakan shalat
empat rakaat, kamu tidak usah menanyakan kualitas dan panjangnya shalat beliau,
setelah itu beliau mengerjakan empat rakaat, kamu tidak usah menanyakan
kualitas dan panjangnya shalat beliau, kemudian beliau shalat tiga rakaat.”[17][17].
Shalat Witir tiga
rakaat ini boleh dilakukan dengan dua salam, berdasarkan perbuatan Abdullah bin
Umar radhiyallahu ‘anhuma, [sebagaimana diriwayatkan oleh
Nafi’],
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ
الرَّكْعَةِ وَالرَّكْعَتَيْنِ فِي الْوِتْرِ حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ
“Bahwa ‘Abdullah bin
‘Umar memberi salam di antara satu rakaat dan dua rakaat witir hingga dia
menuntaskan sebagian keperluannya.”[18][18].
Boleh juga langsung
dengan sekali tasyahud dan satu salam, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ يُوتِرُ بِثَلاَثٍ , لَا يَقْعُدُ
إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ
“Rasulullah Shalat
Witir tiga rakaat, beliau tifak duduk kecuali di akhir rakaat.”[19][19].
Shalat Witir itu tidak
dilakukan dengan dua tasyahud dan satu salam agar tidak sama dengan Shalat
Maghrib, sementara Nabi ﷺ telah melarang hal tersebut.[20][20].
Boleh witir dengan
tujuh atau lima rakaat tanpa duduk tahiyat, kecuali di rakaat akhir,
berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ رَسُولُ الله يَصلي مِن الليل ثلاثَ عشرةَ رَكعةً،
وَيُوتر من ذلك بخَمْسٍ،ولا يجلس في شيء إلا في آخرها
“Rasulullah ﷺ pernah shalat malam
tiga belas rakaat, beliau melakukan shalat witir darinya dengan lima rakaat dan
tidak duduk pada satu rakaat pun kecuali akhirnya.”[21][21].
Berdasarkan Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُوتِرُ بِسَبْعٍ أَوْ بِخَمْسٍ لَا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِتَسْلِيمٍ وَلَا
كَلَامٍ
“Rasulullah pernah
melakukan shalat witir dengan lima rakaat atau tujuh rakaat, dimana beliau
tidak memisahkan diantaranya dengan salam maupun ucapan.”[22][22].
WAKTU TERLARANG UNTUK
SHALAT SUNNAH
Ada waktu-waktu di
mana shalat sunnah pada waktu tersebut dilarang kecuali yang dikecualikan.
Waktu-waktu terlarang tersebut ada lima:
Pertama: Setelah Shalat Shubuh sampai terbit matahari,
berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
لَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ
الشَّمْسُ
“Tidak boleh shalat
sesudah shalat Fajar hingga matahari terbit.”[23][23].
Kedua: Dari terbit matahari sampai meninggi seukuran kadar
tombak menurut pandangan mata, kurang lebih satu meter, diasumsikan dengan
ukuran jam kurang lebih seperempat atau sepertiga jam (setelah terbitnya
matahari). Bila matahari sudah meninggi setelah terbit seukuran tinggi tombak,
maka sungguh telah habis waktu larangan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Amr bin
Abasah [as-Sulami] radhiyallahu ‘anhu,
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ
حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ
“Shalatlah Shubuh,
kemudian tahanlah dirimu dari shalat sampai matahari terbit sehingga ia naik…”[24][24].
Ketiga: Saat matahari tegak [25][25]
diatas kepala hingga ia tergelincir ke arah barat dan masuk waktu Zhuhur,
berdasarkan hadits Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu,
ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ
فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ
وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ
لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu, yang
mana Rasulullah ﷺ telah
melarang kita untuk shalat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut.
(Pertama), saat matahari terbit hingga ia agak meninggi. (Kedua), saat matahari
tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong
ke barat, (Ketiga), saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sama
sekali.”[26][26].
Kata (تتضيف للغروب) bermakna condong tenggelam.
Keempat: Dari Shalat Ashar sampai terbenamnya matahari[27][27],
berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ
وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat
setelah Subuh hingga matahari meninggi dan tidak ada shalat setelah Asar hingga
matahari menghilang.”[28][28].
Kelima: Bila matahari menjelang terbenam.
Kelima waktu ini bisa
diringkas menjadi tiga waktu, yaitu: (Pertama) setelah Shalat Shubuh sampai
matahari naik setinggi tombak. (Kedua), saat orang yang berdiri di siang hari
tidak memiliki bayangan (matahari di atas kepala) sampai ia condong ke barat.
(Ketiga), dan setelah Shalat Ashar sehingga matahari terbenam dengan
sempurna.
Tentang hikmah
larangan shalat di waktu-waktu ini, maka sungguh Nabi ﷺ telah menjelaskan bahwa orang-orang kafir
menyembah matahari saat terbit dan terbenam, sehingga shalat seorang Muslim di
waktu-waktu tersebut menjadi menyerupai perbuatan mereka. Dalam hadits Amr bin
Abasah radhiyallahu ‘anhu,
فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ
شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“karena matahari
terbit diantara dua tanduk setan, dan shalat pada waktu itu adalah sujudnya
orang-orang kafir.”[29][29].
Hal ini mengenai waktu
matahari terbit dan terbenam. Adapun saat matahari meninggi dan saat orang yang
berdiri di siang hari tidak memiliki bayangan (matahari di atas kepala), maka
Nabi ﷺ telah menjelaskan illat (alasan hukum)
larangan pada hadits di atas, seraya beliau bersabda,
فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ
“karena pada waktu itu
api neraka sedang dinyalakan.”[30][30].
Tidak boleh shalat
sunnah di waktu-waktu ini kecuali shalat yang dikecualikan oleh dalil seperti
dua rakaat thawaf, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ, لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا يَطُوفُ
بِهَذَا الْبَيْتِ وَيُصَلِّي أَيَّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ
“Wahai bani Abdu
Manaf, “Janganlah melarang seorang pun untuk melakukan tawaf di Ka’bah, dan
melakukan shalat pada saat kapanpun yang ia kehendaki, malam atau siang.”[31][31].
Demikian juga mengqadha’
qabliyah Shubuh sesudah Shalat Shubuh, qadha’ sunnah
Zhuhur sesudah Ashar, lebih-lebih bila seseorang menjamak Zhuhur dengan Ashar.
Demikian juga shalat-shalat yang mempunyai sebab, seperti shalat jenazah,
tahiyatul masjid, shalat gerhana, (maka hal itu dibolehkan). Demikian
juga mengqadha’ shalat fardhu yang tertinggal di waktu-waktu
tersebut, berdasarkan keumuman sabda Nabi ﷺ,
مَنْ نَام عن صَلَاةٍ أونسيها فَلْيُصَلِّهَا إِذَا
ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
“Barangsiapa tertidur
dari suatu shalat atau terlupa darinya, hendaklah ia tunaikan shalat ketika
ingat, tidak ada kafarat atas shalatnya selain menunaikannya.”[32][32].
Karena shalat fardhu
yang tertinggal adalah hutang yang wajib ditunaikan, maka ia harus dibayar
ketika seseorang mengingatnya.[33]
[1] Diriwayatkan oleh al-Baghawi dalam Syarh
as-Sunnah, 5/21, no. 1249, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam as-Silsilah
ash-Shahihah, no. 1640.
[2] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 684;
an-Nasa’i, no. 466, 467; dan Ibnu Majah, no. 1425. Al-Baghawi berkata, “Hadits
hasan.” Lihat Syarh as-Sunnah, 4/159; dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih
Sunan an-Nasa’i, no. 451-453, lafazh ini milik Ibnu Majah.
[3] (Pada pembahasan ini, shalat Kusuf
dikategorikan sebagai shalat sunnah, sedangkan pada pembahasan bab keempat
belas dikategorikan sebagai shalat wajib. Hal ini terjadi karena adanya
perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum shalat Kusuf. Lihat
asy-Syarh al-Mumti’ Ala Zad a-Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,
4/7. Ed.T.).
[4] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1181 dan
Muslim, no. 729.
[5] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 728: dari
hadits Ummu Habibah.
[6] Jami’ at-Tirmidzi, no. 415, beliau
berkata,” Hasan Shahih.” Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan
at-Tirmidzi, no. 833, 839.
[7] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1182.
[8] Diriwayatkan oleh Muslim, no, 725.
[9] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1159.
[10] Muttafaq alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6410 dan
Muslim, no. 2677.
[11] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1416,
dishahihkan oleh al-Albani dalam at-Ta’liq ala lbni Khuzaimah, no. 1067.
[12] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1418;
at-Tirmidzi, no. 452; dan al-Hakim, 1/306, beliau menshahihkannya, dan
adz-Dzahabi menyetujuinya. Al-Albani berkata, “Shahih tanpa ucapan, la
lebih baik bagi kalian daripada unta merah.” Lihat Shahih
Sunan at-Timidzi, no. 373.
[13] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 990.
[14] Fath al-Bari, Ibnu Hajar, 2/557.
[15] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 755.
[16] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 752, 753.
[17] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 738.
[18] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 991,
[19] Diriwayatkan oleh an-Nasai, 3/234,
no. 1698; al-Hakim, 1/304; al-Baihaqi, 3/28 dan ini adalah lafazhnya;
dishahihkan oleh al-Hakim berdasarkan syarat asy-Syaikhain, dan ia disetujui
oleh adz-Dzahabi.
An-Nawawi
berkata, “Diriwayatkan oleh an-Nasa’i dengan sanad hasan dan al-Baihaqi dengan
sanad shahih.” Lihat al-Majmu, 4/17-18.
[20] Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, 2/24-25;
al-Hakim, 1/304; dan al-Baihaqi, 3/31. Ad_Daraquthni berkata tentang
rawi-rawinya,”Semuanya tsiqat.” Dishahihkan oleh al-Hakim berdasarkan syarat
asy-Syaikhain, dan ia disetujui oleh adz-Dzahabi. lbnu Hajar berkata dalam Fath
al-Bari, 2/558, “Sanadnya berdasarkan syarat asy-Syaikhain.”
[21] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 7337.
[22] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 1192,
dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan lbni Majah, no. 980.
[23] Muttafaq alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 586 dan
Muslim, no. 827, dan lafazh ini adalah milik Muslim.
[24] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 832.
[25] Maksudnya, puncak ketinggiannya, karena
matahari naik di ufuk, lalu apabila telah selesai, maka mulailah turun.
[26] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 831.
[27] Yakni saat hendak terbenam.
[28] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 586 dan
Muslim, no. 827.
[29] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 832, hadits
ini telah hadir sebelumnya.
[30] Ibid.
[31] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no.
1894; dan at-Tirmidzi, no. 868, beliau berkata, “Hasan shahih”; Ibnu Majah, no.
1254; al-Hakim dalam al-Mustadrak, 1/448 dan beliau menshahihkannya, dan
adz-Dzahabi menyetujuinya; dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih lbni Majah,
no. 1036.
[32] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 684.
[33] [Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’ Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli 2019 M].
Posting Komentar untuk "Shalat Sunnah: Jenis-Jenis dan Keutamaannya"