Syarat Diterimanya Ibadah. Ibadah adalah perkara tauqifiyyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyariatkan kecuali berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyariatkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalkan suatu perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”[1].
Baca juga: Pengertian Ibadah
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:(berikut adalah dua syarat diterimanya ibadah seorang Muslim)
- Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
- Ittiba’ sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat yang kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menurut wajibnya taat kepada Rasul ﷺ, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌۭ فَلَهُۥٓ أَجْرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112).
أَسْلَمَ وَجْهَهُ (aslama wajhahu, menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. وهو محسن (wahuwa muhsin, berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya ﷺ.
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَـٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Surat Al-Kahfi: 110).
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwa Muhammad ﷺ adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau ﷺ telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau ﷺ melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau ﷺ mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.”[2].
Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
Pertama: Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱعْبُدِ ٱللَّهَ مُخْلِصًۭا لَّهُ ٱلدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2).
Kedua: Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’(memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah bukan semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, makai a telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
Ketiga: Sesungguhnya Allah telah menyempurnkan agama bagi kita. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
Keempat: Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebakan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
Maka inilah penjelasan terkait dua syarat diterimanya ibadah seseorang.
_____________________
Keterangan:
1). Shahih: HR. Muslim no. 1718 [18] dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2). Lihat Al-Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ditahqiq oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid (hlm. 221-222).
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas Penerbit Pustaka At-Taqwa, Cetakan Ketiga belas Jumadil Awwal 1440 H – Januari 2019 M].
Wallahu A’lam
Posting Komentar untuk "Syarat Diterimanya Ibadah Dalam Islam Yang Benar dan Lengkap"