Shalat Istisqa: Tata Cara dan Dalilnya

Shalat Istisqa

Shalat istisqa merupakan amalan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Shalat Istisqa adalah shalat meminta diturunkannya air hujan ke langit dunia setelah berlalunya musim kemarau yang panjang atau karena terjadinya tanah yang kering. Adapun penjelasan lebih jelasnya sebagaimana berikut,

DEFINISI, HUKUM, DAN DALIL SHALAT ISTISQA’

Definisi: Istisqa adalah meminta diturunkannya air hujan dari Allah ta’ala saat hamba-hamba membutuhkannya dengan tata cara tertentu, hal itu terjadi ketika tanah kering dan kemarau panjang, karena tidak ada yang menyiramkannya dan menurunkan air hujan kecuali Allah ta’ala semata.

Hukum: Hukum Shalat Istisqa adalah sunnah mu’akkad, berdasarkan ucapan Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu,

Dalil:

خَرَجَ النبيُّ ﷺ يَسْتَسْقِي، فَتَوَجَّهَ إلى القِبْلَةِ يَدْعُو وحَوَّلَ رِداءَهُ، ثُمَّ صَلّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِما بالقِراءَةِ

“Nabi keluar meminta hujan, lalu beliau menghadap kiblat untuk berdoa, dan membalikkan kain selempangnya, lalu beliau shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaan pada keduanya.”[1][1]

SEBAB SHALAT ISTISQA

Sebab Shalat Istisqa adalah kemarau panjang, karena tertahannya air huja, karena Nabi melakukannya untuk hal tersebut.

WAKTU DAN TATA CARA SHALAT ISTISQA

Waktu dan tata cara Shalat Istisqa adalah sama dengan Shalat Id, berdasarkan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

صلّى النبيُّ ركعتينِ كما يُصلي في العيدينِ

“Nabi shalat dua rakaat sebagaimana beliau shalat di dalam dua hari raya.”[2][2]

Disunnahkan mendirikannya di tanah lapang seperti Shalat Id, dan dilaksanakan shalat dua rakaat dengan bacaan dikeraskan pada keduanya seperti Shalat Id, dan shalat itu dilakukan sebelum khutbah. Demikian juga untuk jumlah takbir dan bacaan surat pada dua rakaatnya.

Istisqa (meminta hujan) juga boleh dengan cara apa saja, yaitu; (Pertama) seseorang berdoa dan memohon hujan dalam shalatnya ketika sujud. (Kedua) imam meminta hujan dengan berdoa di atas mimbar di dalam Shalat Jum’at. Sungguh Nabi telah meminta hujan di atas mimbar pada Hari Jum’at.[3][3]

KELUAR MENUJU SHALAT ISTISQA

Bila imam hendak menunaikan Shalat Istisqa ini, maka hendaknya dia menasihati masyarakat, memerintahkan mereka agar bertaubat, berhenti dari perbuatan zhalim, meninggalkan permusuhan dan kebencian, karena ia adalah sebab di tahannya kebaikan dari Allah ta’ala, dan karena kemaksiatan-kemaksiatan adalah sebab kekeringan, sedangkan takwa adalah sebab keberkahan. Allah ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَـٰتٍۢ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَـٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”[QS. Al-A’raf: 96].

Membersihkan diri untuknya, tidak memakai wewangian, dan tidak memakai perhiasan, karena hari ini adalah hari kerendahan dan kekhusyu’an. Hendaklah keluar dalam keadaan tawadhu’, khusyu’, dan rendah diri, serta tunduk, berdasarkan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

  خرج النبيَّ في الاستسقاءِ متذلِّلًا متواضعًا متخشعا, متضرعا.

“Nabi keluar untuk meminta hujan dalam keadaan merendahkan diri, bertawadhu’, khusyu’, dan tunduk.”[4][4]

KHUTBAH SHALAT ISTISQA

Disunnahkan bagi imam berkhutbah dalam Shalat Istisqa dengan satu khutbah sesudah shalat, hendaklah khutbahnya simple namun mencakup banyak permasalahan. Dalam khutbahnya dia mengajak hadirin untuk bertaubat, memperbanyak sedekah, kembali kepada Allah ta’ala, dan meninggalkan kemaksiatan.

Dalam khutbah, hendaknya imam memperbanyak istighfar dan membaca ayat-ayat mengajak yang mengajak bertaubat, memperbanyak doa memohon hujan dari Allah ta’ala seperti ucapan,

اللَّهُمَّ أَغِثْنَا

“Ya Allah, hujanilah kami.”[5][5]

Dan ucapan,

اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا مَرِيعًا عَاجِلًا غَيْرَ آجِلٍ نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ

“Ya Allah, berilah kami hujan yang membantu (dalam mengatasi paceklik), yang nikmat, juga yang menyuburkan, yang segera datang, dan tidak tertunda, yang bermanfaat, tidak memudharatkan.”[6][6]

Serta ucapan,

 اللَّهُمَّ أَنْتَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْغَنِيُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلَاغًا إِلَى حِينٍ

“Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkau Mahakaya sedangkan kami fakir, turunkanlah hujan kepada kami, jadikanlah air hujan yang Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan bekal yang menyampaikan kami kepada waktu yang ditentukan.”[7][7]

Dan doa sepertinya sambil mengangkat kedua tangan, karena Nabi melakukannya sehingga putih ketiaknya terlihat, dan orang-orang juga mengangkat tangan mereka, karena Nabi ketika mengangkat kedua tangannya meminta hujan pada shalat Jum’at, maka orang-orang juga mengangkat kedua tangan mereka.

Hendaklah memperbanyak shalawat kepada Nabi , karena ia merupakan sebab dikabulkannya doa.

AMALAN SUNNAH DALAM SHALAT ISTISQA

Berikut ini sunnah-sunnah yang patut dijaga dalam Shalat Istisqa adalah,

1). Hendaklah memperbanyak berdoa yang diriwayatkan dari Rasulullah berkenaan dengan hal tersebut, menghadap kiblat di akhir doa, membalikkan kain selempang, menjadikan yang kanan ke kiri dan yang kiri ke kanan. Demikian juga pakaian yang mirip dengan kain selempang, seperti jubah dan yang sepertinya. Sungguh telah diriwayatkan secara shahih,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حول إلى الناي ظهره واستقبل القبلة [يدعو] ثم حول رِدَاءَهُ

“Bahwa Nabi membalikkan punggungnya kepada orang-orang (yakni membelakangi) dan beliau menghadap kiblat [untuk berdoa], kemudian membalikkan kain selempangnya beliau.”[8][8]

Ada yang berkata, hikmah membalikkan kain selempang adalah memberikan rasa optimis agar Allah subhanahu wa ta’ala mengubah keadaan dari kondisi yang dialaminya.

2). Disunnahkannya agar seluruh kaum Muslimin keluar untuk melaksanakan Shalat Istisqa’, termasuk kaum wanita dan anak-anak.

3). Disunnahkan berangkat dengan khusyu’, tunduk, dan rendah hati, karena Nabi keluar untuk Istisqa’ dalam keadaan merendahkan hati, tunduk, khusyu’, dan tawadhu’.[9][9]

4). Disunnahkan saat hujan turun untuk berdiri di awalnya agar ia mengenai tubuhnya, dan mengucapkan,

اَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

“Ya Allah, (jadikanlah hujan ini sebagai) hujan deras yang bermanfaat.”

Dan mengucapkan,

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ.

“Kami telah diturunkan hujan dengan karunia dan rahmat Allah.”

5). Dan apabila hujan lebat dan dikhawatirkan dapat membahayakan, maka disunnahkan mengucapkan,

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Ya Allah, jadikanlah hujan ini turun di sekitar kami dan janganlah Engkau jadikan turun menimpa kami. Ya Allah alihkanlah ia ke bukit-bukit, dataran tinggi, perut-perut lembah, dan tempat-tempat tumbuhnya pohon.”[10][10][11]



[1] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1011 dan Muslim, no. 894.

[2] Diriwayatkan oleh an-Nasa’i, no. 1521; dan at- Tirmidzi, no. 558, dan ia hadits hasan. Lihat Irwa’ al-Ghalil, 3/133.

[3] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 933 dan Muslim, no. 897.

[4] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 458; dan Ibnu Majah, no. 1266; hadits ini hasan. Lihat Irwa al-Ghalil, 2/133.

[5] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1014 dan Muslim, no. 897 yang terkandung dalam hadits istisqa yang panjang.

[6] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1169, sanadnya dishahihkan oleh al-Albani dalam Takhrij al-Misykah, no. 1507.

[7] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1173. Sanadnya dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrij al-Misykah, no. 1508.

[8] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1011 dan Muslim, no. 864.

[9] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, seraya dia berkata, “Hasan shahih.” Hadits ini telah hadir sebelumnya.

[10] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1021 dan Muslim, no. 897, dan lafadznya milik beliau.

[11] [Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’ Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli 2019 M].



Posting Komentar untuk "Shalat Istisqa: Tata Cara dan Dalilnya"