Pengertian Ikhlas Menurut Bahasa Arab dan Istilah Syar'i


Pengertian Ikhlas

Pengertian Ikhlas Menurut Bahasa dan Istilah. Pembahasan tentang ikhlas adalah pembahasan yang sangat penting karena berkaitan dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini. Hal ini dikarenakan tauhid adalah inti dan poros dari agama dan Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah menerima kecuali yang murni yang diserahkan kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ

Hanyalah bagi Allah agama yang murni. (QS. Az-Zumar: 3)

Perkara apa saja yang merupakan perkara agama Allah subhanahu wa ta’ala dan hanya diserahkan kepada-Nya maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menerimanya. Adapun jika diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan juga diserahkan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala (siapa pun juga), Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menerimanya karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima amalan yang disyariatkan. Dia hanya menerima amalan agama yang khalis (murni) untuk-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada pelakunya, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk mengambil pahala (ganjaran) amalan tersebut kepada yang disyariatkan. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi ﷺ:

قالَ اللَّهُ تَبارَكَ وتَعالى: أنا أغْنى الشُّرَكاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَن عَمِلَ عَمَلًا أشْرَكَ فيه مَعِي غيرِي، تَرَكْتُهُ وشِرْكَهُ.

Allah subhanahu wa ta’ala berfiman: “Aku adalah yang paling tidak butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untuk-Ku lantas ia mensyarikatkan amalannya tersebut dengan selain-Ku, Aku akan tinggalkan dia dan kesyirikannya.” (HR. Muslim no. 2985)

Baca juga: Pengertian Syirik

Dalam riwayat lain:

 فَمن عملَ لي عملًا أشرَكَ فيهِ غيري فأَنا منهُ بريءٌ وَهوَ للَّذي أشرَكَ

“Barangsiapa yang beramal suatu amalan untuk-Ku lantas ia mensyarikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selain-Ku maka Aku berlepas diri darinya dan ia untuk yang dia syarikatkan.” (HR. Ibnu Majah 2/1405 no. 4202, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani)

Berkata Syaikh Shaleh Alu Syaikh, “Lafal ‘amalan’ di sini adalah nakirah dalam konteks kalimat syarat. Maka memberi faedah keumuman sehingga mencakup seluruh jenis amalan kebaikan, baik amalan badan, amalan harta, maupun amalan yang mengandung amalan badan dan harta (seperti haji dan jihad).” (At-Tamhid, hlm. 401). Adapun berikut ini adalah pengertian ikhlas atau definisi ikhlas menurut bahasa dan istilah.

PENGERTIAN IKHLAS MENURUT BAHASA ARAB

Ikhlas menurut etimologi (menurut bahasa) diambil dari خَلُصَ yaitu sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “hart aini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorang pun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta tersebut.

Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan kalimat خَالِصٌ “khalish” yang menunjukkan kemurnian, sebagaimana dalam firman-Nya tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi ﷺ:

وَٱمْرَأَةًۭ مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِىِّ إِنْ أَرَادَ ٱلنَّبِىُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةًۭ لَّكَ مِن دُونِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sbegai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (QS. Al-Ahzab: 50)

Hal ini murni atau khusus untuk Nabi ﷺ dan tidak ada orang lain yang mencampuri atau menyertainya dalam hukum ini. Demikian juga dalam firman-Nya:

وَإِنَّ لَكُمْ فِى ٱلْأَنْعَـٰمِ لَعِبْرَةًۭ ۖ نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِى بُطُونِهِۦ مِنۢ بَيْنِ فَرْثٍۢ وَدَمٍۢ لَّبَنًا خَالِصًۭا سَآئِغًۭا لِّلشَّـٰرِبِينَ

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang murni atau bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (QS. An-Nahl: 66)

Baca juga: Pengertian Ibadah

Susu itu sangat bersih dan tidak tercampur dengan setetes darah pun dan setitik kotoran pun. Demikian juga firman-Nya:

فَلَمَّا ٱسْتَيْـَٔسُوا۟ مِنْهُ خَلَصُوا۟ نَجِيًّۭا ۖ قَالَ كَبِيرُهُمْ أَلَمْ تَعْلَمُوٓا۟ أَنَّ أَبَاكُمْ قَدْ أَخَذَ عَلَيْكُم مَّوْثِقًۭا مِّنَ ٱللَّهِ وَمِن قَبْلُ مَا فَرَّطتُمْ فِى يُوسُفَ ۖ فَلَنْ أَبْرَحَ ٱلْأَرْضَ حَتَّىٰ يَأْذَنَ لِىٓ أَبِىٓ أَوْ يَحْكُمَ ٱللَّهُ لِى ۖ وَهُوَ خَيْرُ ٱلْحَـٰكِمِينَ

Maka tatkala mereka berputus asa dari (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. Berkatalah yang tertua di antara mereka: “Tidaklah kamu ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya. (QS. Yusuf: 80)

Yaitu para saudara Yusuf menyendiri dan saling berbicara di antara mereka tanpa ada orang lain yang menyertai pembicaraan mereka.

PENGERTIAN IKHLAS MENURUT ISTILAH

Adapun (pengertian) ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi) terdapat beberapa pendapat para ulama, tetapi semuanya kembali pada makna etimologinya, yaitu “memurnikan” atau “mengkhususkan” hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala.

Di antara ulama ada yang mendefinisikan bahwa ikhlas “menjadikan tujuan hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala tatkala beribadah,” yaitu jika engkau sedang beribadah maka hati dan wajahmu arahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas “membersihkan amalan dari komentar manusia,” yaitu jika engkau melakukan suatu amalan tertentu maka bersihkan diri dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu tersebut. Cukuplah Allah subhanahu wa ta’ala yang memperhatikan amalan kebajikanmu, itu artinya engkau ikhlas dalam amalanmu untuk-Nya. Inilah yang harus diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia. Namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Rabb manusia, karena yang menjadi patokan adalah keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala kepadamu (meskipun manusia tidak meridhaimu).

Ada pula yang mengatakan bahwa ikhlas “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin.” Adapun riya’ yaitu dzahir (amalan yang nampak) dari seorang hamba lebih baik daripada batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini derajat yang lebih tinggi dari ikhlas yang pertama) yaitu batin seseorang lebih baik di hadapan manusia karena kebaikan hatinya. Sebagaimana ia menghiasi amalan dzahir-nya di hadapan manusia maka hendaknya ia pun menghiasi hatinya di hadapan Rabb-nya.

Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah subhanahu wa ta’ala,” yaitu ia lupa bahwa orang-orang memperhatikannya karena ia selalu memandang kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu seakan-akan ia melihat Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ tentang ihsan “Engkau beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu.” Barangsiapa yang berhias di hadapan manusia dengan apa yang tidak ia miliki (dzahih-nya tidak sesuai dengan batinnya) maka ia jatuh dari pandangan Allah subhanahu wa ta’ala, dan barangsiapa yang jatuh dari pandangan Allah subhanahu wa ta’ala maka apalagi yang bermanfaat baginya? Hendaknya engkau takut bila jauh dari pandangan Allah, karena jika engkau jauh dari pandangan-Nya maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan peduli denganmu di manakah engkau akan binasa. Jika Allah subhanahu wa ta’ala meninggalkan engkau dan menjadikan engkau bersandar kepada dirimu sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau telah bersandar kepada sesuatu yang lemah, dan terlepas darimu pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala, juga tentunya balasan Allah subhanahu wa ta’ala pada hari akhirat lebih keras dan lebih pedih. (Lihat Tazkiyatun Nufus karya Ahmad Farid hlm. 13)

Baca juga: Pengertian Tauhid

Berkata Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafidzahullah, “Ikhlas itu bukan hanya terbatas pada urusan amalan-amalan ibadah tetapi juga berkaitan dengan dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah ﷺ saja (tetap) diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala untuk ikhlas dalam dakwahnya.”

قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Yaitu dakwah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala bukan kepada yang lainnya, dan dakwah yang membuahkan keberhasilan adalah dakwah yang dibangun karena mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Aku memperingatkan kalian agar jangan ada di antara kita dan kalian yaitu orang-orang yang senang jika dikatakan bahwa kampung mereka adalah kampung sunnah, senang jika masjid-masjid mereka disebut dengan masjid-masjid Ahlus Sunnah, atau masjid mereka adalah masjid yang pertama yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau masjid pertama yang menghadirkan masyayikh salafiyyin dalam rangka mengalahkan selain mereka, namun terkadang mereka tidak sadar bahwa amalan mereka hancur dan rusak dan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Ini adalah musibah yang sangat menyedihkan yaitu setan menggelincirkan seseorang sedikit-demi sedikit hingga terjatuh ke dalam jurang. Betapa banyak masjid yang aku lihat yang Allah subhanahu wa ta’ala hancurkan amalannya padahal dulu jemaahnya dzahir-nya berada di atas sunnah disebabkan rusaknya batin mereka, dan berlomba-lombanya mereka untuk dikatakan bahwa jemaah masjid mereka adalah yang pertama kali berada di atas sunnah, hendaknya kalian berhati-hati.” (Dari ceramah Syaikh Abdul Malik Ramadhani yang berjudul Ikhlas).

Inilah penjelasan mengenai pengertian ikhlas menurut bahasa dan istilah. Semoga bermanfaat.

_____________________

Keterangan:

[Disalin dari buku Berjihad Melawan Riya’ dan Ujub, Penulis Firanda Andirja Abidin, Lc., M.A, Penerbit Pustaka Naasirus Sunnah, Cetakan Ketiga Sya’ban 1437 H – Mei 2016 M].

Wallahu A’lam

Posting Komentar untuk "Pengertian Ikhlas Menurut Bahasa Arab dan Istilah Syar'i"