Shalat Jenazah merupakan amalan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Kata (اَلْجَنَائِزُ) adalah jamak (جَنَازَةٌ) dan (جِنَازَةٌ), maknanya sama.
Ada yang berkata, (جَنَازَةٌ) dengan jim difathah adalah nama untuk mayit, sedangkan (جِنَازَةٌ) dengan jim dikasrah adalah nama untuk keranda mayit.
Manusia patut mengingat kematian dan akhir hidupnya di dunia ini, sehingga dia akan bersiap diri menghadapinya dengan amal shalih dan berbekal untuk akhirat, bertaubat dari kemaksiatan, dan melepaskan diri dari kezhaliman.
Disunnahkan menjenguk orang sakit, mengingatkannya agar bertaubat dan berwasiat. Lalu bila orang sakit menghadapi sakaratul maut, disunnahkan mentalqinkannya dengan La ilaha illallah, dan menghadapkannya ke kiblat. Lalu bila dia meninggal, maka disunnahkan untuk memejamkan kedua matanya dan bersegera menyiapkan jenazahnya dan memakamkannya.
Bab ini terdiri dari beberapa bagian:
HUKUM MEMANDIKAN JENAZAH
Memandikan jenazah hukumnya wajib, karena Nabi ﷺ memerintahkannya, sebagaimana dalam sabda beliau tentang seorang laki-laki saat dalam keadaan ihram yang terjatuh dari untanya sehingga lehernya remuk,
اغسِلوه بماءٍ وسِدْرٍ
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara.”[1]
Dan sabda Nabi ﷺ berkenaan dengan Zainab radhiyallahu ‘anha, putri beliau,
اغْسِلْنَها ثَلاثًا، أَوْ خَمْسًا، أَوْ سَبْعًا
“Mandikanlah dia tiga kali, atau lima, atau tujuh kali.”[2]
Hukum memandikan jenazah adalah fardhu kifayah menurut ijma’ (kesepakatan) ulama.
TATA CARA MEMANDIKAN JENAZAH
Keluarga mayit harus memilih -untuk memandikan mayit mereka- orang yang dipercaya, adil (shalih), dan mengetahui hukum-hukum memandikan. Dalam memandikan ini penerima wasiat dari (untuk memandikannya) didahulukan, kemudian kerabat mayit yang paling dekat kemudian yang lebih dekat (dari pada setelahnya), seperti bapak, kakek dan anak bila mereka mengetahui hukum-hukum memandikan, dan bila tidak mengetahui, maka didahulukanlah selain mereka dari kalangan yang mengetahui tentang memandikan mayat.
Maka mayit laki-laki dimandikan oleh kaum laki-laki, sedangkan wanita dimandikan oleh kaum wanita. Dan masing-masing dari suam-istri berhak memandinkan pasangannya; suami berhak memandikan istrinya, dan istri berhak memandikannya suaminya.
Setiap kaum laki-laki dan wanita boleh memandikan anak-anak yang berumur di bawah tujuh tahun.
Seorang Muslim, laki-laki atau wanita tidak boleh memandikan orang kafir, tidak juga membawa dan mengkafani jenazahnya, serta tidak boleh juga menshalatkannya, sekalipun kerabat dekatnya seperti bapak atau ibunya.
Air yang digunakan untuk memandikan mayit harus air yang suci menyucikan dan mubah. Dan hendaklah memandikan mayit di tempat yang tertutup. Tidak patut hadir, orang-orang yang tidak berkaitan dengan memandikan mayit.
Cara memandikan:
Meletakkan mayit di bangku yang digunakan untuk memandikannya, kemudian menutupi auratnya (dengan kain lebar), kemudian melepaskan pakaiannya, menutupi dari pandangan mata dengan meletakkan di kamar atau ruang tertutup lainnya, kemudian orang yang memandikannya mengangkat kepala mayit mendekati posisi duduknya, kemudian mengurutkan tangannya ke perut mayit dan memijat ringan (untuk mengeluarkan sisa kotoran di perut mayit), kemudian membersihkan dua jalan kotoran dan menceboki mayit, membasuh najis yang keluar dari dua jalan dengan cara membalut tangannya dengan kain, kemudian berniat memandikannya dengan mengucapkan bismillah, mewudhukannya seperti wudhu untuk shalat kecuali pada tata cara berkumur dan beristinsyaq, keduanya cukup dengan mengusap mulut dan kedua lubang hidungnya, kemudian membasuh kepala dan jenggotnya dengan air bidara atau sabun atau lainnya, kemudian membasuh bagian kanan tubuh kemudian bagian kiri, kemudian menyempurnakan guyuran atau basuhan air ke bagian tubuh lainnya.
Saat memandikan, dianjurkan membalut kedua tangannya dengan kain. Yang wajib adalah membasuhnya dengan sekali basuhan bila sudah terwujud bersih dengannya, namun yang dianjurkan adalah tiga kali basuhan meskipun sudah bersih.
Dianjurkan untuk basuhan terakhir menggunakan air kapur barus. Kemudian jasad mayit dilap dengan handuk, dan dibuanglah darinya bagian tubuh yang disyariatkan untuk dibuang, seperti kuku dan bulu. Rambut wanita bisa dikepang dan digeraikan ke belakangnya.
Bila mayit tidak bisa dimandikan karena tidak ada air atau jasadnya terpotong-potong karena terbakar atau sebab lainnya, maka mayit ditayamumkan dengan debu.
Bagi yang memandikan mayit, disunnahkan mandi setelahnya.
Baca juga: Kumpulan Fiqih Shalat Lengkap
SIAPA YANG MENGURUS PROSES MEMANDIKAN JENAZAH
Yang lebih utama, hendaklah yang mengurusi proses memandikan mayit adalah orang yang paling mengetahui sunnah memandikan dari kalangan orang-orang yang terpecaya, amanah dan adil (shalih), khususnya bila dia berasal dari keluarga dan kerabat mayit, karena orang-orang yang memandikan Nabi ﷺ adalah dari keluarga beliau seperti Ali radhiyallahu ‘anhu dan lainnya.[3]
Orang yang paling berhak memandikan mayit adalah penerima wasiatnya yang diberi wasiat untuk memandikannya, kemudian bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat laki-lakinya yang paling dekat lalu kerabat lelaki yang lebih dekat (daripada setelahnya), kemudian keluarga dari kalangan Dzawul Arham.[4]
Yang mengurus proses memandikan mayit lelaki wajib kaum lelaki, dan yang mengurus proses memandikan mayit perempuan wajib kaum perempuan. Dan suami-istri dikecualikan dari ketentuan tersebut, karena masing-masing dari keduanya berhak memandikan yang lain, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
لو كنتُ استَقبلتُ مِن أمري ما استَدبرتُ ما غسَّلَ النَّبيَّ ﷺ غيرُ نسائِهِ
“Seandainya aku tahu perkaraku di awalnya yang aku ketahui di akhirnya, niscaya tidak ada yang memandikan Nabi ﷺ selain istri-istri beliau.”[5]
Nabi ﷺ bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha,
لو مُتِّ قبلي لغسَّلتُكِ وكفَّنتُكِ
“Kalau kamu mati sebelumku, niscaya aku benar-benar akan memandikanmu dan mengkafanimu.”[6]
Asma binti Umais radhiyallahu ‘anha memandikan suaminya, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.[7]
Sedangkan orang yang mati syahid karena perang tidak dimandikan, karena Nabi ﷺ
أمر بقتلى أُحدٍ أن يُدفَنوا في ثيابِهم, ولم يغسلوا ولم يصلّ عليهم
“Memerintahkan agar para syuhada Uhud dimakamkan dengan mengenakan baju-baju mereka, dan mereka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.”[8]
Demikian pula mereka tidak perlu dikafani dan tidak perlu dishalatkan. Akan tetapi mereka (langsung) dikubur dengan pakaian mereka sebagaimana dalam hadits di atas.
Janin yang gugur -yaitu janin yang lahir dari perut ibunya sebelum waktunya, laki-laki atau wanita- bila sudah mencapai umur empat bulan, maka harus dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, karena janin setelah empat bulan telah menjadi manusia.
HUKUM MENGKAFANI DAN TATA CARANYA
Mengkafani mayit hukumnya wajib berdasarkan sabda Nabi ﷺ tentang seorang laki-laki yang berihram yang jatuh dari untanya,
وَكَفِّنوهُ في ثَوبينِ
“Kafanilah dia dengan mengenakan dua helai kain.”[9]
Yang wajib adalah menutup seluruh tubuh, lalu bila tidak didapatkan kain yang dapat menutupi seluruh tubuh kecuali baju pendek yang tidak cuup untuk seluruh badan, maka kepalanya ditutup, sedangkan kakinya ditutup dengan pohon idzkhir, berdasarkan ucapan Khabbab tentang kisah mengafani Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu,
فأمَرَنا النبيُّ ﷺ أَنْ نُغَطِّيَ رَأْسَهُ، وأَنْ نَجْعَلَ على رِجْلَيْهِ مِنَ الإذْخِرِ.
“Maka Nabi ﷺ memerintahkan kami agar menutup kepalanya dengan meletakkan di atas kedua kakinya (agar tertutup) dengan pohon idzkhir.”[10]
Mayit laki-laki yang berihram tidak boleh ditutup kepalanya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
ولا تُخَمِّروا رأسَه
“Jangan kalian tutup kepalanya.”[11]
Mengafaninya harus dengan kain yang menutupi, tidak memperlihatkan kulit (transparan). Hendaklah kain ini termasuk dari kain yang biasa dipakainya sehari-hari, karena tidak boleh membebani mayit dan ahli waris.
Sunnahnya mengafani mayit laki-laki dengan tiga helai kain putih dari katun, kain-kain tersebut dibentangkan dan ditumpuk satu sama lain, lalu mayit diletakkan di atasnya dengan terlentang, kemudian bagian ujung atas dari kain yang sebelah kiri ditarik ke sebelah kanan dari kain mayit, kemudian kain sebelah kanan ditarik ke sebelah kiri, kemudian dilanjutkan dengan helai kain yang kedua, kemudian helai kain yang ketiga, kemudian kain yang melebihi kepala mayit diikat. Lalu diletakkan kain lebih di sisi kepalanya kemudian diikat, lalu bila kelebihannya masih panjang, maka letakkan di sisi kakinya juga, lalu diikat, karena ikatan itu lebih menguatkan kafan, berdasarkan ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كُفِّن رسولُ اللهِ صلّى اللهُ عليه وسلَّم في ثلاثةِ أثوابٍ بِيضٍ سَحُوليَّةٍ[12] جدد يمانيةٍ ليس فيها قميصٌ ولا عِمامةٌ, أُدْرِجَ فِيْهَا إِدْرَجًا
“Rasulullah ﷺ dikafani dalam tiga helai kain putih suhuliyah baru dari Yaman. Di dalamnya tidak ada baju dan tidak ada serban. Beliau dibungkus di dalamnya (tiga lembar kain kafan putih).[13]
Dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
البَسوا من ثيابكم البياضَ، فإنها من خيرِ ثيابِكم، وكفِّنوا فيها موتاكم
“Pakailah pakaian kalian yang putih, karena ia termasuk pakaian terbaik kalian, dan kafanilah mayit-mayit kalian dengannya.”[14]
Mayit wanita dikafani dengan lima lembar kain katun. Terdiri dari kain sarung, kerudung, baju, dan dua lembar kain panjang. Anak laki-laki cukup satu helai, dan boleh juga dibungkus dengan tiga helai kain, sedangkan anak perempuan dikafani dengan satu baju dan dua helai kain. Kemudian berikutnya adalah hukum shalat jenazah dan dalilnya.
HUKUM SHALAT JENAZAH DAN DALILNYA
Hukum shalat jenazah adalah fadrhu kifayah. Bila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugurlah dosa dari yang lain. Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ untuk mayit laki-laki yang memikul tanggungan hutang,
صلُّوا على صاحبِكم
“Shalatlah rekan kalian itu.”[15]
Dan sabda Nabi ﷺ saat an-Najasyi wafat,
إنَّ أخًا لَكُمْ قدْ ماتَ، فَقُومُوا فَصَلُّوا عليه
“Sesungguhnya seorang saudara kalian telah wafat, maka berdirilah dan shalatkanlah dia.”[16]
SYARAT-SYARAT SHALAT JENAZAH
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
- Niat
- Taklif
- Menghadap kiblat
- Menutup aurat
- Bebas dari najis -karena shalat ini termasuk dari shalat-shalat yang lainnya-
- Dihadirkan mayit di hadapan orang yang menshalatinya bila mayitnya berada di dalam negeri
- Islamnya orang yang shalat dan mayit yang dishalati
- Keduanya sama-sama dalam keadaan suci sekalipun dengan tayamum (dikarenakan adanya suatu udzur)
RUKUN-RUKUN SHALAT JENAZAH
Rukun-rukunnya (shalay jenazah) sebagai berikut:
(Pertama), berdiri bagi siapa yang mampu berdiri ketika (melaksanakan) shalat fadrhu, karena shalat jenazah adalah shalat yang diwajibkan berdiri dalam menjalankannya seperti shalat fardhu.
(Kedua), empat takbir, karena Nabi ﷺ bertakbir empat kali saat menshalatkan an-Najasyi.
(Ketiga), membaca al-Fatihah berdasarkan keumuman hadits,
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بأُمِّ القرآنِ
“Tidak ada shalat bagi siapa yang tidak membaca Ummul Qur’an.”[17]
(Keempat), membaca shalawat kepada Nabi ﷺ.
(Kelima), mendoakan mayit, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
إذا صلَّيْتُم على الميِّتِ فأَخلِصوا له الدُّعاءَ.
“Bila kalian menshalatkan mayit, maka ikhlaskanlah doa baginya.”[18]
(Keenam), mengucapkan salam, berdasarkan keumuman hadits,
وتحليلُها التسليمُ
“Dan yang menghalalkannya (penutup) adalah ucapan salam.”
(Ketujuh), berurutan dalam menjalankan rukun, sehingga tidak boleh mendahulukan suatu rukun atas rukun lainnya.
SUNNAH-SUNNAH SHALAT JENAZAH
Sunnah-sunnahnya (shalat jenazah) adalah:
- Mengangkat kedua tangan bersama setiap kali takbir
- Membaca ta’awudz sebelum membaca
- Berdoa untuk diri sendiri dan kaum Muslimin
- Serta melirihkan bacaan
WAKTU SHALAT JENAZAH
Waktu menshalatkan jenazah (melaksanakan shalat jenazah) dimulai sesudah jenazah dimandikan, dikafani, dan disiapkan bila dia hadir; atau saat sampainya berita kematiannya, bila dia ghaib (tidak hadir).
KEUTAMAAN SHALAT JENAZAH
Nabi ﷺ bersabda,
مَن شَهِدَ الجَنازَةَ حتّى يُصَلِّيَ، فَلَهُ قِيراطٌ، ومَن شَهِدَ حتّى تُدْفَنَ كانَ له قِيراطانِ، قيلَ: وما القِيراطانِ؟ قالَ: مِثْلُ الجَبَلَيْنِ العَظِيمَيْنِ.
“Barangsiapa menghadiri jenazah sampai ia dishalatkan, maka dia mendapatkan (pahala) satu qirath. Barangsiapa menghadirinya sampai dimakamkan, maka dia mendapatkan dua qirath.” Ditanyakan (kepada beliau), “Ap aitu dua qirath?” Beliau menjawab, “Seperti dua gunung besar.”[19]
TATA CARA SHALAT JENAZAH
Imam dan orang yang menshalatkan sendirian, berdiri sejajar dengan kepala mayit laki-laki dan perut mayit wanita, karena hal ini diriwayatkan secara shahih dari perbuatan Nabi ﷺ sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu.[20]
Kemudian bertakbiratul ihram, membaca ta’awudz sesudahnya, kemudian membaca basmalah, kemudian membaca al-Fatihah dengan sir (pelan) sekalipun shalat dilakukan di malam hari, kemudian bertakbir dan membaca shalawat kepada Nabi ﷺ sebagaimana membaca shalawat dalam tasyahud, kemudian bertakbir dan berdoa untuk mayit dengan doa yang dicontohkan dari Nabi ﷺ, di antaranya,
اللَّهمَّ اغفِر لحيِّنا وميِّتِنا وشاهدِنا وغائبِنا وصغيرِنا وَكبيرِنا وذَكرِنا وأنثانا اللَّهمَّ من أحييتَهُ منّا فأحيِهِ على الإسلامِ ومن توفَّيتَهُ منّا فتوفَّهُ على الإيمانِ
“Ya Allah, ampunilah dosa orang hidup dan orang mati dari kami, orang hadir dan orang tidak hadir dari kami, anak-anak dan orang dewasa dari kami, laki-laki dan perempuan dari kami. Ya Allah, siapa yang Engkau hidupkan dari kami, maka hidupkanlah dengan berpegang teguh pada Islam, dan siapa yang Engkau wafatkan dari kami, maka wafatkanlah dengan berpegang teguh pada Iman.”[21]
اللَّهُمَّ، اغْفِرْ له وارْحَمْهُ وَعافِهِ واعْفُ عنْه، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، واغْسِلْهُ بالماءِ والثَّلْجِ والْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الذنوب وَالخَطايا كما نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الأبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دارًا خَيْرًا مِن دارِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِن أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِن زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِن عَذابِ القَبْرِ، وَعَذابِ النّارِ.
“Ya Allah, ampunilah dia (si mayit), kasihanilah, selamatkalah dan maafkanlah dia, muliakanlah jamuan penyambutannya (yaitu pahalanya), lapangkanlah jalan masuknya (yakni kuburnya). Bersihkanlah dia dengan air, salju, dan embun. Sucikanlah dia dari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan sebagaimana baju putih dibersihkan dari noda. Gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih baik daripada rumahnya, keluarganya yang lebih baik daripada keluarganya, pasangan yang lebih baik daripada pasangannya. Masukkanlah dia ke dalam surga, lindungilah dia dari azab kubur dan azab neraka.”[22]
Bila mayit anak-anak, maka hendaklah membaca doa,
اَللهمَّ اجْعَلْهُ سَلَفًا لِوَالِدَيْهِ وَفَرَطًا وَأَجْرًا.
“Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pendahulu bagi kedua orang tuanya, simpanan amal yang mendahului, dan pahala.”[23]
Kemudian bertakbir dan berdiam sejenak. Dan bila mengucapkan doa yang mudah baginya, maka itu bagus, misalnya mengucapkan,
اللهُمَّ لا تَحرِمْنا أجْرَهُ ولا تَفتِنّا بَعدهُ
“Ya Allah, jangan Engkau halangi kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau menimpakan fitnah pada kami sesudahnya.”[24]
Kemudian mengucapkan salam satu kali ke kanan. Dan jika mengucapkan salam dua kali (ke kanan dan ke kiri), maka tidak mengapa. Barangsiapa tertinggal sebagian (rukun) shalat, maka dia masuk shalat bersama imam. Lalu bila imam mengucapkan salam, maka dia mengqadha’ rukun yang tertinggal sesuai dengan sifatnya.
Barangsiapa tertinggal shalat (shalat jenazah) sebelum pemakaman, maka dia boleh melaksanakannya di atas kuburnya, berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ yang shalat di atas kubur pada kisah seorang wanita yang biasa menyapu masjid.[25]
Dan dilakukan shalat ghaib pada mayit yang jauh dari negerinya manakala berita wafatnya diketahui, walaupun sesudah satu bulan atau lebih.
Janin yang gugur juga dishalatkan (shalat jenazah) bila sudah sempurna berumur empat bulan ke atas, dan bila kurang dari itu, maka tidak dishalatkan (shalat jenazah).
Baca juga: Tata Cara Sholat Yang Benar
MEMBAWA JENAZAH DAN BERJALAN MENGIRINGINYA
Disunnahkan mengikuti dan mengantar jenazah sampai kubur, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
مَن شَهِدَ الجَنازَةَ حتّى يُصَلِّيَ، فَلَهُ قِيراطٌ، ومَن شَهِدَ حتّى تُدْفَنَ كانَ له قِيراطانِ، قيلَ: وما القِيراطانِ؟ قالَ: مِثْلُ الجَبَلَيْنِ العَظِيمَيْنِ.
“Barangsiapa menghadiri jenazah sampai ia dishalatkan, maka dia mendapatkan (pahala) satu qirath. Barangsiapa menghadirinya sampai dimakamkan, maka dia mendapatkan (pahala) dua qirath.” Ditanyakan (kepada beliau), “Apa itu dua qirath?” Nabi menjawab, “Seperti dua gunung besar.”[26]
Saat seorang Muslim mengetahui kematian seorang Muslim lainnya, seharusnya dia keluar membawa jenazahnya, menshalatkannya, dan memakamkannya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
حَقُّ المُسْلِمِ على المُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلامِ، وعِيادَةُ المَرِيضِ، واتِّباعُ الجَنائِزِ،
“Hak Muslim atas Muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah…”[27]
Hal ini ditekankan bila tidak ada orang yang mengantarkannya.
Tidak mengapa membawa mayit dengan kendaraan mobil atau hewan tunggangan, lebih-lebih bila kuburannya jauh. Orang yang mengantarkan jenazah, hendaklah ikut serta memikulnya.
Disyariatkan mengebumikan mayit di kuburan khusus dengan orang-orang mati, karena Nabi ﷺ mengebumikan orang-orang mati di kuburan Baqi’, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits-hadits shahih, dan tidak pernah dinukil dari seorang salaf pun bahwa dia dimakamkan di selain perkuburan.
Disunnahkan bersegera dalam mengurus jenazah, memandikannya, mengkafaninya, menshalatkannya, dan mengebumikannya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
إذا مات أحدُكم فلا تحبسوهُ وأسرِعُوا به إلى قبرِه
“Bila salah seorang di antara kalian meninggal, maka jangan menahannya, dan percepatlah membawanya ke kuburnya.”[28]
Apa yang dilakukan oleh sebagian orang, berupa menunda-nundanya, memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain atau memilih hari baik dalam seminggu (sepekan) untuk memakamkannya, maka hal ini tidak sejalan dengan Sunnah. Saat membawanya ke kubur juga disunnahkan untuk mempercepat langkah, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
أَسرعِوا بالجنازةِ فإن تكُ صالحةً فخَيرٌ تُقدِّمونها إليه وإن تكُ سوى ذلك فشرُّ تضعَونه عن رِقابِكم
“Percepatlah dalam membawa jenazah. Bila ada seorang yang shalih, maka itu adalah kebaikan yang kalian segerakan untuknya, dan bila selain itu, maka itu adalah keburukan yang kalian lepas dari pundak kalian.”[29]
Namun “mempercepat” di sini tidak menjadi “cepat yang (berlari)”, akan tetapi (ukuran kecepatannya) lebih pelan daripada jalan cepat, sebagaimana yang dipilih oleh sebagian ulama.
Orang-orang yang membawa jenazah harus tenang dan khusyu’, tidak mengangkat suara apapun, tidak membaca al-Qur’an atau lainnya, karena tidak ada satu riwayat oun tentang hal tersebut dari Nabi ﷺ. Barangsiapa yang melakukannya, maka dia menyelisihi Sunnah.
Wanita tidak boleh mengantarkan jenazah, berdasarkan hadits Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha,
نُهِينا عَنِ اتِّباعِ الجَنائِزِ
“Kami dilarang mengantarkan jenazah.”[30]
Memikul dan menngantar jenazah hanya khusus bagi kaum laki-laki saja. Pengantar dimakruhkan duduk sehingga jenazah diletakkan di atas tanah, karena Nabi ﷺ melarang duduk sehingga mayit diletakkan.[31]
MENGEBUMIKAN MAYIT, SIFAT KUBUR, DAN APA YANG DISUNNAHKAN PADANYA
Disunnahkan memperdalam kubur, melebarkannya, dan membuat lahad untuknya (mayit) di dalamnya (kubur). Dan lahad adalah membuat lubang galian di dasar kubur di bagian sisi serong kea rah kiblat. Lalu bila sulit membuat lahad, maka tidak mengapa diganti dengan syaq. Dan syaq adalah membuat liang galian untuk mayit di tengah lubang kubur, namun lahad lebih utama, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
اللَّحدُ لَنا والشَّقُّ لغيرِنا
“Liang lahad adalah untuk kita, sedangkan liang galian ‘syaq’ adalah bagi selain kita.”[32]
Mayit diletakkan di lahadnya di atas sisi kanannya (dalam posisi miring ke kanan) menghadap kiblat. Celah lahad yang terbuka itu ditutup dengan bata dan tanah, kemudian ditimbun dengan tanah, lalu kuburnya ditinggikan dari tanah seukuran satu jengkal sesuai dengan bentuk punuk, karena demikianlah bentuk kubur Nabi ﷺ dan kedua sahabat beliau,[33] hal ini agar diketahui bahwa itu kubur sehingga tidak dihina. Tidak mengapa meletakkan batu-batu atau selainnya di atas sisi-sisinya untuk menjelaskan dan mengetahui batas-batasnya.
Haram mendirikan bangunan di atas kbur, mencegatnya, dan duduk di atasnya, sebagaimana juga makruh membuat tulisan di atasnya kecuali hanya sebatas kebutuhan sebagai tanda, berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
نهى أن يُجصَّصَ[34] القبرُ وأن يقعد عليه ويُبنى عليه
“Nabi ﷺ melarang kuburan dikapuri, diduduki, dan didirikan bangunan di atasnya.”[35]
At-Tirmidzi menambah,
وأن يُكتبَ عليها
“Diberi tulisan di atasnya.”
Karena ini semua termasuk sarana syirik dan ketergantungan kepada kubur. Inilah yang membuat orang-orang bodoh tertipu, sehingga mereka bergantung kepada kubur.
Diharamkan menyalakan pelita (lampu) di kuburan dan menyinarinnya, karena hal ini meniru orang-orang kafir dan membuang harta. Haram juga membangun masjid di atasnya, shalat di kubur atau menghadap ke kubur, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ والنَّصارى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أنْبِيائِهِمْ مَساجِدَ.
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid-masjid.”[36]
Diharamkan untuk menghina kubur dengan berjalan di atasnya atau menginjaknya dengan sandal atau duduk di atasnya dan yang sepertinya, berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
لأَنْ يَجْلِسَ أحَدُكُمْ على جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيابَهُ، فَتَخْلُصَ إلى جِلْدِهِ، خَيْرٌ له مِن أنْ يَجْلِسَ على قَبْرٍ.
“Sungguh salah seorang di antara kalian duduk di atas bara api lalu ia membakar bajunya sampai menembus pada kulitnya adalah lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur.”[37]
Dan juga berdasarkan larangan Nabi ﷺ untuk menginjak kuburan.[38]
Sesudah memakamkan mayit, dianjurkan mendoakannya, berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ, karena beliau ketika telah selesai mengebumikan mayit, maka beliau berdiri di depannya, dan bersabda,
استغفِروا لأخيكُم، وسَلوا اللَّهَ لَهُ التَّثبيتَ فإنَّهُ الآنَ يُسألُ
“Mohonkanlah ampunan bagi saudara kalian ini, dan mintalah untuknya keteguhan, karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.”[39]
Adapun membaca al-Fatihah atau surat al-Qur’an lainnya di kubur, maka ia adalah bid’ah yang mungkar, karena Nabi ﷺ dan para sahabat yang mulia tidak melakukannya. Sungguh beliau ﷺ telah bersabda,
مَن عَمِلَ عَمَلًا ليسَ عليه أمْرُنا فَهو رَدٌّ.
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan urusan (agama) kami, makai a tertolak”.[40]
TAZKIYAH, HUKUM DAN TATA CARANYA
Tazkiyah adalah menghibur dan menguatkan orang yang tertimpa musibah agar mampu memikul beban musibahnya, lalu mengingatkan kepadanya tentang doa-doa dan dzikir-dzikir yang menjelaskan keutamaan sabar dan berharap pahala kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Disyariatkan tazkiah kepada keluarga mayit dengan sesuatu yang meringankan beban musibah mereka, mendorong mereka untuk sabar dan rela menerima, dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ bila dia mengetahui atau menghafalnya. Dan bila tidak mengetahui, maka dengan kata-kata baik yang mudah yang bisa mewujudkan maksud, dan tidak menyelisihi syariat.
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
كُنّا عِنْدَ النبيِّ ﷺ، فأرْسَلَتْ إلَيْهِ إحْدى بَناتِهِ تَدْعُوهُ، وَتُخْبِرُهُ أنَّ صَبِيًّا لَها، أَوِ ابْنًا لَها في المَوْتِ، فَقالَ لِلرَّسُولِ: ارْجِعْ إلَيْها، فأخْبِرْها: أنَّ لِلَّهِ ما أَخَذَ وَلَهُ ما أَعْطى، وَكُلُّ شيءٍ عِنْدَهُ بأَجَلٍ مُسَمًّى، فَمُرْها فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
“Kami sedang bersama Nabi ﷺ, lalu salah seorang putri beliau mengirimkan utusan kepada beliau untuk memanggil beliau dan mengabarkan kepada beliau bahwa anaknya dalam keadaan sekarat, maka beliau ﷺ bersabda kepada utusan tersebut, ‘Kembalilah kepadanya lalu kabarkanlah kepadanya, ‘Sesungguhnya milik Allah apa yang Dia ambil dan apa yang Dia berikan. Segala sesuatu di sisi Allah memiliki ajal yang ditetapkan.’ Maka perintahkanlah dia agar bersabar dan berharap pahala kepada Allah.”[41]
Ini termasuk lafazh terbaik dalam tazkiah.
Saat tazkiah, hendaknya menjauhi beberapa perkara yang banyak mewabah di kalangan masyarakat, namun tidak memiliki dasar dalam syariat, di antaranya:
1). Berkumpul untuk tazkiah di tempat tertentu dengan menghadirkan kursi, penerangan, dan para pembaca al-Qur’an.
2). Keluarga mayit membuat makanan selama masa berduka untuk menjamu orang-orang yang bertazkiah, berdasarkan hadits Jarir al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
كنّا نعُدُّ الاجتماعَ إلى أهلِ الميِّتِ وصَنيعةِ الطَّعامِ بعدَ دَفنِهِ مِنَ النِّياحَةِ
“Kami menganggap berkumpul di rumah mayit dan membuat makanan sesudah pemakamannya termasuk meratap (an-Niyahah).”[42]
3). Mengulang-ngulang tazkiah. Sebagian orang pergi ke rumah keluarga mayit lebih dari sekali dan bertazkiah untuk mereka, sementara pada hukum asalnya, tazkiah itu cukup sekali. Namun bila tujuan berulang-ulang tazkiah adalah mengingatkan dan mengajak untuk tetap bersabar, menerima ketetapan Allah dan takdirNya, maka tidak mengapa.
Berbeda bila tujuannya bukan untuk ini, maka ia tidak patut dilakukan, karena hal ini tidak diriwayatkan dari Nabi ﷺ dan para sahabat.
Sunnah bagi kerabat mayit dan tetangganya membuat makanan untuk keluarga mayit, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
اصنَعوا لآلِ جَعفَرٍ طعامًا؛ فإنَّه قد أتاهم أمرٌ يشغَلهم أو أتاهم ما يشغلهم. .
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesungguhnya mereka telah didatangi perkara yang menyibukkan mereka -atau mereka kedatangan apa yang menyibukkan mereka-.”[43]
Tidak apa-apa menangis dan berduka atas mayit, hal ini sering kali terjadi, yaitu kesedihan yang didorong oleh tabi’at manusiawi, tanpa memaksakan diri. Sungguh Nabi ﷺ telah menangis atas kematian putranya, Ibrahim saat wafat. Beliau ﷺ bersabda,
إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولا نَقُولُ إلّا ما يَرْضى رَبُّنا
“Sesungguhnya mata menangis dan hati bersedih, namun kami tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Tuhan kami…”[44]
Namun hal ini bukan dalam rangka marah, cemas, dan berkeluh kesah. Haram meratapi mayit, menangis dengan meraung-raung, memukul pipi, dan merobek baju, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
ليسَ مِنّا مَن لَطَمَ الخُدُودَ، وشَقَّ الجُيُوبَ، ودَعا بدَعْوى الجاهِلِيَّةِ.
“Bukan termasuk golongan kami, siapa yang menampar pipi, merobek leher baju, dan berseru dengan seruan jahiliyah.”[45]
Misalnya dengan berseru, “Celaka, sial” dan yang sepertinya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
النائِحةُ إذا لم تَتُبْ قبلَ موتِها، تُقامُ يومَ القيامَةِ وعليها سِرْبالٌ مِنْ قَطِرانٍ، ودِرْعٌ مِنْ جرَبٍ
“Wanita yang meratap, bila dia belum bertaubat sebelum matinya, maka dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dengan mengenakan pakaian panjang dari ter dan jubah dari penyakit kudis.”[46]
_____________________
Keterangan:
[1]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1266 dan Muslim, no. 1206.
[2]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1259 dan Muslim, no. 939.
[3]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 1467 Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 1207; dan lihat Irwa al-Ghalil, no. 699.
[4]. (Yaitu, semua kerabat yang tidak mendapatkan bagian warisan yang ditentukan (fardh) dan tidak pula mendapatkan bagian ashabah. Ed.T.).
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3215 dan Ibnu Majah, no. 1464, dihasankan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 702.
[6]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 1465, hadits ini shahih. Lihat Irwa’ al-Ghalil, 3/160.
[7]. Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’, 1/223.
[8]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1343.
[9]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1266 dan Muslim, no. 1206.
[10]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1276 dan Muslim, no. 940. (Idzkhir adalah jenis tumbuhan ilalang, baunya wangi, biasa digunakan untuk atap rumah yang diletakkan di atas kayu. Lihat an-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, 1/33. Ed.T.).
[11]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1265. Ed.T.
[12]. Kata (سُحُولِيَّةٌ) dengan mendhammahkan dua huruf yang tidak bertitik adalah jamak dari (سَحْلٌ), yaitu kain putih yang bersih, dan ia tidak terbuat kecuali dari kain katun. Diriwayatkan pula dengan sin difathah, nisbat kepada (سَحُولٌ) “Sahul”, sebuah desa di Yaman. Lihat an-Nihayah, 2/313 materi kata (سحل).
[13]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1264 dan Muslim, no. 941. Lafadz yang akhir milik Ahmad, 6/118.
[14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3878; at-Tirmidzi, no. 1005; Ibnu Majah, no. 1472, dan ini adalah lafazh at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.” Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 792.
[15]. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1619.
[16]. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 952-64.
[17]. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 394.
[18]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3199, dan hadits ini hasan. Lihat Irwa’ al-Ghalil, 3/179.
[19]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1325 dan Muslim, no. 945.
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3194; at-Tirmidzi, no. 1045; dan Ibnu Majah, no. 1494. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.” Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 826.
[21]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3201; at-Tirmidzi, no. 1024; dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, 1/358. At-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.” Al-Hakim berkata, “Shahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain.” Dan adz-Dzahabi menyetujuinya.
[22]. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 963.
[23]. Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannafnya, 3/529, no. 6589.
[24]. Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’, 1/228, no. 17; Abdurrazaq dalam Mushannafnya, 3/488, no. 6425; Ibnu Hibban sebagaimana dalam al-Ihsan, 7/342, no. 3073. Muhaqqiqnya berkata, “Sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim.”
[25]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 458; dan Muslim, no. 956.
[26]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1325 dan Muslim, no. 945.
[27]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1240.
[28]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, 12/340, no. 13613. Ibnu Hajar menghasakannya dalam Fath al-Bari, 3/219.
[29]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1351 dan Muslim, no. 944, dan lafazh tersebut miliki al-Bukhari.
[30]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1278 dan Muslim, no. 938, dan ini adalah lafazh Muslim.
[31]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1310 dan Muslim, 959.
[32]. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 1056 dan beliau menghasankannya, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 835.
[33]. Lihat asy-Syarh al-Mumti’, 4/458.
[34]. Maksudnya, mengecat dengan kapur, yaitu batu kapur atau gamping yang biasa digunakan mengecat rumah.
[35]. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 970, dan at-Tirmidzi, no. 1064, dan beliau berkata, “Hasan shahih.”
[36]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1330 dan Muslim, no. 529.
[37]. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 971.
[38]. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 1064, beliau berkata, “Hasan shahih.”
[39]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3221, dan al-Hakim mengshahihkannya dalam al-Mustadrak. 1/370, dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Dihasankan oleh an-Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar. Lihat at-Ta’liq ala ath-Thahawiyah, 2/265-266.
[40]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2697 dan Muslim, no. 1718-18, dan ini lafazh Muslim.
[41]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. [1284], dan Muslim, no. 923.
[42]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 1612, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 1318.
[43]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3116; at-Tirmidzi, no. 1003; dan Ibnu Majah, no. 1610. Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 1316.
[44]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1303.
[45]. Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1294 dan Muslim, no. 103.
[46]. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 934.
Kata (اَلْجَرَبُ) “penyakit kudis” adalah penyakit yang dikenal, yaitu bisul-bisul pada kulit yang disertai rasa gatal.
[Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’ Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli 2019 M].
Wallahu A’lam
Posting Komentar untuk "Shalat Jenazah (Tata Cara, Hukum dan Syarat-Syaratnya)"