Shalat Id/Idain (Dua Hari Raya) merupakan amalan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Dua hari raya adalah Idul Adha dan Idul Fitri, keduanya memiliki pesta perayaan syar’i. Idul Fitri merayakan selesainya kaum Muslimin dari Puasa Ramadhan. Sedangkan Idul Adha merayakan penutupan kaum Muslimin sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah. Ia disebut dengan Id karena ia (يعود) “kembali, dan berulang” pada waktunya. Adapun penjelasan lebih jelasnya sebagaimana berikut,
HUKUM, DALIL SHALAT
DUA HARI RAYA (ID)
Hukum Shalat Dua Hari
Raya adalah fardhu kifayah. Bila sebagian kaum Muslimin telah
menunaikannya, maka dosanya gugur dari Muslim yang lain, namun bila mereka
semuanya meninggalkan maka semuanya berdosa, karena shalat ini termasuk syiar
Islam yang nyata, dan karena Nabi ﷺ selalu
menjaganya. Demikian juga para sahabat beliau sesudahnya.
Sungguh Nabi ﷺ telah
memerintahkan kaum Muslimin untuk melaksanakannya, sampai kaum wanita, hanya
saja beliau memerintahkan bagi wanita yang haid agar memisahkan diri (menjauh)
dari tempat shalat. Hal ini menunjukkan urgensinya Shalat Dua Hari Raya dan
juga besarnya keutamaannya, karena shalat itu apabila Nabi ﷺ memerintahkan
agar dilakukan oleh kaum wanita, -padahal pada hukum asalnya mereka bukanlah
pihak yang diperintahkan berkumpul bersama kaum laki-laki-, maka kaum laki-laki
lebih patut untuk diperintahkan.
Diantara ulama ada
yang menguatkan pendapat bahwa Shalat Dua Hari Raya adalah fardhu ain.
SYARAT-SYARAT SHALAT
DUA HARI RAYA
Diantara
syarat-syaratnya yang paling penting adalah; masuk waktu, adanya bilangan
(jumlah jamaah) yang diperhitungkan, dan menetap (mukim). Oleh karena itu,
tidak boleh shalat sebelum waktunya, tidak boleh kurang dari tiga orang, dan
tidak wajib atas musafir yang tidak menetap.
TEMPAT UNTUK SHALAT
DUA HARI RAYA
Tempat-tempat yang
digunakan Shalat Id itu disunnahkan shalat di tanah lapang di luar bangunan,
berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Nabi ﷺ biasa keluar
untuk Shalat Idul Fitri dan Adha ke tempat shalat (yaitu tanah lapang).”[1][1]
Tujuannya adalah
-wallahu a’lam- untuk memperlihatkan syiar ini dan menonjolkannya. Boleh
melakukannya di masjid jami’ disebabkan adanya udzur seperti hujan, angin
kencang, dan yang semisalnya.
WAKTU SHALAT DUA HARI
RAYA
Waktu Shalat Id itu
seperti waktu Shalat Dhuha, yaitu setelah matahari naik seukuran tinggi tombak
sampai waktu zawal (tergelincir), karena Nabi ﷺ dan para
khalifah setelahnya melakukan shalat ini sesudah matahari naik, dan karena
sebelum matahari naik merupakan waktu larangan.[2][2]
Disunnahkan
menyegerakan Shalat Idul Adha di awal waktunya dan menunda Shalat Idul Fitri,
berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ. Disamping itu karena orang-orang sangat
butuh menyegerakan Shalat Idul Adha untuk menyembelih hewan kurban, sedangkan
untuk Shalat Idul Fitri mereka memerlukan waktu lebih panjang sebelum shalat
agar bisa leluasa memberikan zakat fitrah.
TATA CARA DAN BACAAN
DALAM SHALAT DUA HARI RAYA
Tata cara Shalat Id:
Dua rakaat sebelum khutbah, berdasarkan ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu,
صلاةُ الفطر والأضحى رَكعتانِ رَكعتانِ تمامٌ غيرُ قصرٍ على
لسانِ نبيكم, وقد خاب من افترى
“Shalat Idul Fitri dan
Adha (shalat dua hari raya) itu dua rakaat dua rakaat, sempurna bukan qashar
melalui lisan Nabi kalian. Dan sungguh telah merugi siapa yang membuat
kebohongan.”[3][3]
Di dalam rakaat
pertama, bertakbir enam kali setelah takbiratul ihram dan membaca istiftah
serta sebelum ta’awudz. Di dalam rakaat kedua, bertakbir lima kali selain
takbir bangkit dari sujud, yang dilakukan sebelum membaca al-Fatihah,
berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang marfu’,
التكبيرُ في الفطرِ والأضحى: في الأولى سبعُ تكبيراتٍ، وفي
الثانيةِ خمسُ تكبيراتٍ سوى تكبيرتي الركوعِ
“Takbir di dalam
Shalat Idul Fitri dan Idul Adha (shalat dua hari raya) pada rakaat pertama
adalah tujuh takbir, dan pada kedua adalah lima takbir selain dua takbir rukuk.”[4][4]
Kemudian mengankat
kedua tangan bersama setiap takbir, karena Nabi ﷺ,
كان يرفع يديه مع التكبير.
“Beliau selalu
mengangkat kedua tangannya bersama setiap takbir.”[5][5]
Kemudian membaca
-setelah isti’adzah- dengan jahr tanpa ada perbedaan, membaca al-Fatihah dan
sesudahnya di rakaat pertama membaca Surat al-A’la, dan Surat al-Ghasyiyah di
rakaat kedua, berdasarkan ucapan Samurah,
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ
بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ
“Rasulullah ﷺ membaca
al-A’la dan al-Ghasyiyah pada (Shalat) Dua Hari Raya.”[6][6]
Dalam riwayat yang
shahih juga dari Nabi ﷺ,
أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي [الْأَضْحَى وَالْفِطْر]ِ كَانَ يَقْرَأُ فِي الأُوْلَى بِق وَالْقُرْآنِ
الْمَجِيدِ وَفِي الثانية: اقْتَرَبَتْ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
“Bahwa Rasulullah ﷺ [pada Idul
Adha dan Idul Fitri] membaca pada rakaat pertama Surat Qaf dan pada kedua Surat
al-Qamar.”[7][7]
Sebaiknya imam membaca
bacaan yang ini pada suatu waktu, dan yang itu pada lain waktu, dalam rangka
mengamalkan sunnah dengan tetap memperhatikan keadaan orang-orang yang shalat,
lalu mengacu pada mereka yang paling lemah.
WAKTU KHUTBAH
Waktu khutbah pada
Shalat Id adalah sesudah shalat, berdasarkan ucapan Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ
الْخُطْبَةِ
“Nabi ﷺ, Abu Bakar,
dan Umar melakukan Shalat Dua Hari Raya sebelum khutbah.”[8][8]
QADHA’ SHALAT DUA HARI
RAYA
Bagi siapa yang
ketinggalan Shalat Id, tidak disunnahkan untuk mengqadha’nya, karena
tidak ada dalilnya dari Nabi ﷺ tentang hal tersebut, dan karena shalat
ini adalah shalat yang memiliki perkumpulan tertentu, maka ia tidak
disyariatkan kecuali dalam bentuk seperti itu.
AMALAN SUNNAH DI HARI
ID
Berikut ini adalah
amalan-amalan sunnah di hari raya (Id) yaitu,
1). Disunnahkan
menggelar Shalat Id di tanah lapang dan terbuka, di luar desa, di mana kaum
Muslimin berkumpul padanya untuk memperlihatkan syiar ini, dan bila ada udzur
lalu dilakukan di masjid, maka tidak mengapa.
2). Disunnahkan
menyegerakan Shalat Idul Adha dan mengakhirkan Shalat Idul Fitri, sebagaimana
ia sudah dijelaskan pada pembahasan waktu shalat.
3). Disunnahkan makan
beberapa kurma sebelum berangkat untuk Shalat Idul Fitri, dan hendaklah tidak
makan pada hari Idul Adha sampai shalat, berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ, beliau tidak
keluar ke Shalat Idul Fitri sehingga beliau menyantap beberapa butir kurma yang
beliau makan dengan jumlah ganjil[9][9]
dan beliau tidak makan di hari Idul Adha sehingga beliau shalat.[10][10]
4). Disunnahkan
berangkat di awal waktu saat keluar untuk Shalat Id setelah Shubuh dengan
berjalan kaki, dengan tujuan agar bisa dekat dengan imam dan mendapatkan
keutamaan menunggu shalat.
5). Seorang Muslim
disunnahkan berhias, mandi, memakai pakaian terbaik, dan memakai wewangian.
6). Disunnahkan
berkhutbah pada Shalat Id dengan tema yang memiliki cakupan luas dan universal
untuk seluruh perkara-perkara agama, mengajak kaum Muslimin membayar zakat
fitrah, menjelaskan kepada mereka apa yang mereka bayarkan, mendorong kaum
Muslimin untuk berkurban, dan menjelaskan hukum-hukumnya. Hendaknya kaum wanita
juga mendpatkan nasihat, karena mereka juga membutuhkannya, dan hal ini dalam
rangka meneladani Rasulullah ﷺ, karena setelah beliau shalat dan khutbah,
beliau mendatangi kaum wanita, lalu menasihati mereka mengingatkan mereka.[11][11]
Dan ia terjadi sesudah shalat, sebagaimana penjelasan yang lalu.
7). Disunnahkan
memperbanyak dzikir dengan takbir dan tahlil, berdasarkan Firman Allah azza wa
jalla,
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ
هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَـٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ
مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ
فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا
يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ
عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu
menyempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”(QS. Al-Baqarah: 185).
Kaum laki-laki
mengeraskan takbir di rumah, masjid, dan pasar, sedangkan kaum wanita cukup
dengan suara pelan.
8). Disunnahkan
mengambil jalan berbeda saat pulang dan saat pergi; maka hendaklah dia pergi
dari satu jalan dan pulang dari jalan lain, berdasarkan hadits Jabir
radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Dahulu Nabi ﷺ apabila hari
raya, maka beliau mengambil jalan berbeda.”[12][12]
Ada yang berkata,
hikmahnya agar kedua jalan tersebut bersaksi baginya. Ada yang berkata, untuk
memperlihatkan syiar Islam pada kedua jalan. Ada yang berkata selainnya.
Tidak mengapa saling
memberi ucapan selamat hari raya antara seseorang kepada saudaranya dengan
mengucapkan,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ صَالِحَ الأَعْمَالِ
“Semoga Allah menerima
amal-amal shalih dari kami dan kamu.”
Hal ini sebagaimana
dilakukan oleh para sahabat Nabi ﷺ, disertai
dengan penuh Bahagia dan wajah yang berseri-seri di hadapan orang yang
ditemuinya.[13][13]
[1] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 956 dan Muslim,
no. 889
[2] Lihat al-Mughni, 2/232-233
[3] Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/37; an-Nasa’i
1/232; dan al-Baihaqi, 3/200, hadits ini shahih. Lihat Irwa al-Ghalil, 3/106.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1149,
hadits ini shahih. Lihat Irwa al-Ghalil, 3/286
[5] Diriwayatkan oleh Ahmad, 4/316. Dihasankan
oleh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil, no. 641
[6] Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/7; dan Ibnu
Majah, no. 1283; dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil, no. 644
[7] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 891
[8] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 963; dan Muslim,
no. 888
[9] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 953
[10] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 542;
dan Ibnu Majah, no. 1756; dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah,
no. 1422
[11] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no.978
[12] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 986
[13] [Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’
Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan
al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali
al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin
Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli
2019 M].
Posting Komentar untuk "Shalat Idul Fitri dan Idul Adha"