Shalat Oranag Musafir
merupakan merupakan amalan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
dan Rasul-Nya. Shalat safar atau shalat musafir (orang yang dalam perjalanan),
ini mencakup beberapa pembahasan:
Pembahasan
Pertama: Qashar shalat empat rakaat, dan ia mencakup beberapa bagian:
HUKUM MENGQASHAR
SHALAT
Tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama tentang disyariatkannya mengqashar shalat empat
rakaat bagi musafir. Dalilnya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, dan ijma’. Adapun
dalil dari al-Qur’an adalah Firman Allah ta’ala,
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا۟ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ
ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلْكَـٰفِرِينَ كَانُوا۟ لَكُمْ عَدُوًّۭا
مُّبِينًۭا
“Dan apabila kamu bepergian
di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu.” [QS.
An-Nisa: 101].
Mengqashar shalat
boleh dilakukan dalam safar, dalam keadaan takut dan aman, berdasarkan jawaban
Nabi ﷺ saat ditanya tentang qashar, padahal orang-orang sudah dalam
keadaan aman,
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا
صَدَقَتَهُ
“(Qashar shalat dalam
safar adalah) sedekah dari Allah yang diberikan kepada kalian, maka terimalah
sedekahnya.”[1][1]
Juga karena Nabi ﷺ dan para
khulafa’ sesudah beliau selalu melakukannya. Dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, dia berkata,
إِنِّي صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ
اللَّهُ وَصَحِبْتُ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى
قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ عُمَرَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى
قَبَضَهُ اللَّهُ
“Sesungguhnya aku
telah menyertai Rasulullah ﷺ dalam safar
beliau, maka beliau tidak menambahkan atas dua rakaat (shalat qashar) sampai
Allah mewafatkannya. Dan aku telah menyertai Abu Bakar, maka dia juga tidak
menambahkan atas dua rakaat sampai Allah mewafatkannya…”[2].[2]
Kemudian Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan hal yang sama dari Umar dan Utsman
radhiyallahu ‘anhuma. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Umar secara marfu’,
إن اللهَ يُحبُّ أن تؤتى رخَصُه، كما يكرهُ أن تُؤتى
معصيتُه،
“Sesungguhnya Allah
menyukai bila keringanan-Nya dilakukan sebagaimana Dia tidak menyukai bila
kemaksiatan kepada-Nya dilakukan.”[3][3]
Adapun dalil ijma’,
maka mengqashar shalat itu termasuk perkara-perkara yang diketahui dalam agama
secara mendasar, dan umat Islam telah menyepakatinya. Maka berdasarkan hal ini;
menjaga sunnah ini dan mengambil keringanan ini adalah lebih utama dan lebih
baik daripada meninggalkannya, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa
menyempurnakan shalat dalam safar hukumnya makruh. Hal ini disebabkan sangat
konsistennya Nabi ﷺ dan para sahabat yang selalu menerapkan
sunnah ini, dan bahwa hal ini adalah petunjuk Nabi ﷺ yang selalu
dan senantiasa beliau laksanakan.
SHALAT YANG BOLEH DI
QASHAR
Shalat yang boleh
diqashar adalah shalat empat rakaat, yaitu Zhuhur, Ashar dan Isya. Sedangkan
Shalat Shubuh dan Maghrib tidak boleh diqashar menurut kesepakatan ulama. Ini
berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ dan para sahabat beliau sesudah beliau,
dan berdasarkan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ
رَكْعَتَيْنِ
“Allah telah
mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian ﷺ empat rakaat
saat tinggal dan dua rakaat saat safar.”[4].[4]
Ini menunjukkan bahwa
shalat yang empat rakaat adalah yang dimaksudkan (untuk yang diqashar).
BATASAN SAFAR
Batasan safar yang di
dalamnya shalat boleh diqashar dan jenisnya. Batasan safar yang di dalamnya
shalat boleh diqashar adalah kurang lebih 16 farsakh, yaitu 4 burud (jarak
pengiriman surat ke kantor pos pada zaman dahulu), sama dengan 48 mil atau ± 80
km, yaitu dua hari perjalanan normal di waktu yang normal berjalan dengan
barang bawaan berat dan langkah kaki yang pelan. Nabi ﷺ memakan
perjalanan satu hari satu malam dengan safar.[5][5]
Ibnu Abbas dan Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhuma mengqashar shalat dan berbuka puasa dalam perjalanan
4 burud, yaitu 16 farsakh.
JENIS SAFAR
Adapun jenis safar,
maka ia adalah:
(Pertama), safar mubah seperti safar untuk berniaga dan rekreasi.
(Kedua), safar wajib seperti safar haji dan jihad.
(Ketiga), safar sunnah yang dianjurkan seperti safar untuk
mengunjung kerabat, safar untuk yang kedua kalinya di dalam haji. Berdasarkan
penjelasan ini, maka tidak boleh mengqashar shalat dalam safar yang haram
menurut pendapat mayoritas ulama.
BERNIAT TINGGAL ITU
BOLEH MENGQASHAR?
Pertanyaan: Apakah orang yang berniat tinggal itu boleh mengqashar?
Jawaban: Barangsiapa berniat tinggal, maka perkaranya perlu
dirinci; bila dia berniat tinggal secara mutlak, maka dia tidak boleh
mengqashar, karena dalam kondisi ini tidak ada sebab yang membolehkannya untuk
mengqashar.
Demikian halnya dengan
orang yang berniat tinggal lebih dari empat hari atau tinggal untuk sebuah hajat,
sementara dia mengira bahwa ia tidak akan selesai kecuali setelah empat hari,
“karena Nabi ﷺ tinggal di Makkah, lalu disana beliau
shalat dua puluh satu (waktu) shalat dengan mengqasharnya. Hal itu karena Nabi ﷺ tiba di waktu
Shubuh hari keempat (dzulhijjah), lalu beliau tinggal sampai hari tarwiyah,
lalu beliau Shalat Shubuh kemudian meninggalkan Makkah.” Maka barangsiapa
tinggal selama empat hari atau kurang, seperti tinggalnya Nabi ﷺ di Makkah,
maka dia boleh mengqashar, dan barang siapa tinggal lebih (lama), maka dia
menyempurnakan. Hal ini disebutkan oleh Imam Ahmad.[6][6]
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
أقمنا بمكة عشرا نقصر الصلاة
“Kami tinggal di
Makkah selama sepuluh hari dengan mengqashar shalat.”
Makna ucapan Anas ini adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan, karena dia menghitung keluarnya Nabi ﷺ ke Mina, Arafah, dan sesudahnya, dengan memasukkannya ke dalam sepuluh hari. Musafir tetap mengqashar bila dia tinggal karena sebuah hajat tanpa berniat untuk tinggal menetap lebih dari empat hari, sementara dia tidak mengetahui kapan hajatnya selesai atau dia ditahan secara zhalim atau tertahan oleh hujan sekalipun sampai bertahun-tahun.
Ibnu al-Mundzir berkata, “Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa orang musafir itu boleh mengqashar selama tidak berniat tinggal.”
KEADAAN-KEADAAN DI
MANA MUSAFIR WAJIB MENYEMPURNAKAN SHALAT
Ada beberapa keadaan dan
kondisi musafir yang dikecualikan dari dibolehkannya mengqashar shalat,
diantaranya:
1). Bila orang musafir bermakmum kepada orang mukim; maka
dia harus menyempurnakan shalat, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Sesungguhnya imam itu
dijadikan hanya untuk diikuti.”[7][7]
Dan berdasarkan ucapan
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma manakala dia ditanya mengenai shalat dengan
sempurna di belakang orang mukim,
تلك سنة أبي القاسم
“Itu adalah Sunnah Abu
al-Qasim ﷺ.”[8][8]
2). Bila musafir bermakmum kepada orang yang diragukan,
apakah dia orang mukim atau dia orang musafir; bila seorang musafir bermakmum
kepada seorang imam sementara dia tidak tahu apakah imamnya ini mukim atau
musafir, -seperti saat dia di bandara atau yang sepertinya-, maka dia wajib
menyempurnakan shalat, karena qashar memerlukan niat yang pasti. Adapun dengan
keraguan-keraguan, maka dia harus menyempurnakannya.
3). Di dalam safar apabila dia teringat shalat yang
ditinggalkannya saat mukim; misalnya seorang laki-laki musafir, di
tengah-tengah safar dia teringat bahwa dia Shalat Zhuhur di tempat tinggalnya
tanpa wudhu, atau teringat adanya shalat yang tertinggal saat masih mukim, maka
dalam kondisi ini dia harus melaksanakan shalat secara sempurna, berdasarkan
sabda Nabi ﷺ,
مَنْ نَام عن صَلَاة أو نسيها فَلْيُصَلِّها إِذَا
ذَكَرَهَا
“Barangsiapa tertidur
dari shalat atau lupa shalat, maka hendaknya dia melakukan shalat manakala
mengingatnya.”[9][9]
Maksudnya,
melakukannya sebagaimana mestinya dilakukan, dan karena shalat ini mengharuskannya
untuk melakukannya secara sempurna, maka dia harus mengqadhanya juga secara
sempurna.
4). Bila seorang musafir bertakbiratul ihram untuk melakukan
sebuah shalat yang harus dia kerjakan sempurna, lalu shalat ini rusak dan dia
mengulangnya, misalnya seorang musafir shalat bermakmum kepada seorang mukim,
maka dalam kondisi ini dia harus shalat secara sempurna, maka bila shalat ini
batal kemudian dia mengulangnya, maka dia harus mengulangnya secara sempurna,
karena ia merupakan pengulangan terhadap shalat yang wajib dilakukannya secara
sempurna.
5). Bila seorang musafir berniat tinggal secara mutlak
(tidak terikat dengan waktu) atau menjadi penduduk (setempat); Bila seorang
musafir berniat tinggal secara mutlak di negeri tujuan safarnya tanpa membatasi
diri dengan masa tertentu atau pekerjaan tertentu, demikian juga bila dia
berniat menjadikan negeri itu sebagai negerinya, maka dia harus menyempurnakan
shalat, karena hukum safar baginya sudah terputus. Lalu bila dia membatasi
safar dengan batas waktu tertentu yang bisa habis masanya atau dengan pekerjaan
tertentu yang bisa habis, maka statusnya adalah seorang musafir yang bisa
mengqashar shalat.
Pembahasan Kedua:
Jamak antara dua shalat, dan di dalamnya terdapat beberapa bagaian:
DISYARIATKANNYA JAMAK
ANTARA DUA SHALAT DAN UNTUK SIAPA IA DIBOLEHKAN
Dibolehkan dalam safar
di mana shalat diqashar padanya jamak antara Zhuhur dengan Ashar, Maghrib
dengan Isya pada waktu salah satu dari keduanya, berdasarkan hadits Mua’dz
radhiyallahu ‘anhu,
أنَّ النبيَّ ﷺ كان في غزوةِ تبوكَ إذا ارتحل قبل أن تزيغَ
الشَّمسُ أخَّر الظهرَ حتى يجمعَها إلى العصرِ فيُصلِّيهما جميعًا وإذا ارتحل بعد
زيغِ الشَّمسِ صلّى الظهرَ والعصرَ جميعًا ثم سار وكان يفعل مثل ذلك في المغرب
والعشاء
“Bahwa Nabi ﷺ di perang
Tabuk, bila berangkat sebelum matahari tergelincir, maka beliau mengakhirkan
Zhuhur hingga menggabungkannya ke Ashar lalu beliau menjamak keduanya. Bila
beliau berangkat sesudah tergelincirnya matahari, maka beliau shalat Zhuhur dan
Ashar dengan menjamaknya, kemudian melanjutkan perjalanan. Dan beliau melakukan
seperti itu dalam Shalat Maghrib dan Isya.”[10][10]
Tidak ada beda antara
saat sedang singgah atau saat sedang berjalan, karena ia adalah salah satu
keringanan safar sehingga tidak disyaratkan adanya kondisi berjalan di dalamnya
seperti keringanan-keringanan safar lainnya, hanya saja bagi yang singgah
diutamakan untuk tidak menjamak, karena Nabi ﷺ singgah di
Mina beliau tidak menjamak.
Jamak juga boleh bagi
orang mukim yang sakit, yang bila tidak menjamak, maka akan ditimpa kesulitan,
berdasarkan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
جمعَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بينَ الظهرِ والعصرِ
والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ
“Rasulullah ﷺ pernah
menjamak antara Zhuhur dengan Ashar, Marghrib dengan Isya di Madinah tanpa (ada
sebab) takut dan tidak pula hujan.”
Dan dalam sebuah
riwayat,
من غيرِ خوفٍ ولا سفر
“Tanpa (ada sebab)
takut dan safar.”[11][11]
Maka tidak ada yang
tersisa kecuali udzur karena sakit, dan karena Nabi ﷺ memerintahkan
wanita yang terkena istihadhah agar menjamak dua shalat, dan istihadhah adalah
suatu jenis penyakit. Dan dalam hadits di atas, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
ditanya,
لم فعل ذلك؟ قال: كي لايحرج أمته
“Mengapa Nabi
melakukan hal tersebut?” Ibnu Abbas menjawab, “Agar tidak menyulitkan umat
beliau.”
Bila seseorang
menghadapi kesulitan dan kesusahan bila tidak menjamak, maka dia boleh
menjamak, dalam keadaan sakit atau udzur selain sakit, dalam kondisi mukim atau
musafir.
UDZUR MEMBOLEHKAN
JAMAK
Diantara udzur yang
membolehkan jamak shalat selain safar dan sakit adalah:
1). Hujan lebat yang membasahi baju, yang karenanya seorang
mukallaf mendapat kesulitan.
2). Lumpur dan tanah becek, dan hal tersebut dengan syarat
apabila orang-orang mengalami kesulitan berjalan disebabkan olehnya.
3). Angin kencang yang dingin yang melebihi kebiasaan dan
alasan-alasan lainnya yang membuat seorang mukallaf mengalami kesulitan bila
tidak menjamak.
BATASAN MENJAMAK YANG
DISYARIATKAN
Batasan jamak yang
disyariatkan adalah jamak antara Shalat Zhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan
Isya bagi musafir dan orang yang berada pada status hukum yang sama dengannya.
Demikian juga jamak dalam keadaan tinggal menetap karena alasan hujan dan apa
yang berada pada status hukum yang sama dengannya, maka boleh antara dua Isya
dan dua Zhuhur,[12][12]
berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma yang telah disebutkan
sebelumnya. Sungguh hal ini telah dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman
radhiyallahu anhum, karena alasan menjamak antara Maghrib dengan Isya adalah adanya
kesulitan, dan dia juga pada Zhuhur dengan Ashar.[13][13]
[1] Diriwayatkan oleh Muslim, no.686
[2] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 689
[3] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 5832,
dishahihkan oleh al-Albani dalm Irwa’ al-Ghalil, no. 564
[4] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 687
[5] Hal tersebut tertuang dalam beliau, Hal
tersebut tertuang dalam sabda beliau ,
لَا يَحِلُّ
لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ
يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
“Tidak
halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan
perjalanan selama satu hari satu tanpa didampingi mahramnya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1088, dan
lafazh ini adalah lafazhnya; dan Muslim, no. 1339, 421.
[6] Lihat al-Mughni, 2/134-135; Majmu’
al-Fatawa milik Syaikh bin Baz, dan Fatawa ash-Shalah, hal. 458.
[7] Takhrijnya telah hadir.
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/216;
dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 571.
[9] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 597 dan
Muslim, no.684, 315.
[10] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1208;
dan atTirmidzi, no. 553, dan beliau berkata, “Hasan gharib.” Dishahihkan oleh
a-Albani dalam Irwa al-Ghalil, no. 578.
[11] Keduanya diriwayatkan oleh Muslim, no.
705, 49-54.
[12] Dua Isya adalah Maghrib dan Isya, dan dua
Zhuhur adalah Zhuhur dan Ashar. Nama salah satu dari keduanya digunakan untuk
mencakup yang lain karena sudah menjadi kebiasaan umum.
[13] [Dinukil dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’
Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan
al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali
al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin
Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli
2019 M].
Posting Komentar untuk "Shalat Musafir (Jamak dan Qashar)"